Nanti ya Pak? Mungkin kalimat ini pernah saya ucapkan sendiri. Tentunya ketika seseorang yang meminta sesuatu kepada saya, yang kebetulan juga bahwa saya sedang melakukan sesuatu. Katakanlah, sebagai contoh konkritnya, ketika teman tersebut meminta perhatian saya untuk melihat bagaimana membuat tampilan blog saya lebih cantik.
Maka ungkapan yang, menurut saya kala itu, baik dan halus adalah kalimat: Nanti ya Pak? Ya sebenarnya kakaknya atau adiknya, atau pastilah satu keluarga dengan ungkapan: Maaf Pak, Saya masih sibuk.
Nanti kapan? Maksud saya kala itu adalah nanti kalau ada waktu yang lowong, yang memungkinkan saya memenuhi apa yang dimintanya. Tetapi setelah sekian lama, atau setelah yang meminta tersebut lupa mengingatkan saya, saya sendiri kemudian di hinggapi kealfaan. Alfa dan lupa itulah yang tidak memungkinkan lagi bagi saya untuk memenuhi apa yang sebelumnya telah menjadi komitmen saya memenuhinya.
Penyakit Nanti ya Pak ini, setelah saya pikir, adalah penyakit egois. Juga ada juga di dalamnya tersembnyi penyakit kurang empati.
Egois. Karena pada waktu tersebut saya kurang melihat apa yang menjadi permintaan teman tersebut. Dan karena kurang melihat atau memperhatikan apa yang sesungguhnya sedang teman minta, maka pada saat yang sama saya hanya melihat ke dalam diri saya sendiri. Tentunya dalam situasi dan kondisi yang demikian, tidak akan mungkin menjadikan orang lain sebagai pengganti apa yang sedang menjadi angan-angan saya saat itu.
Tidak empati? Karena saya tidak sedang memperdulikannya, saya beranggapan bahwa apa yang sedang dimintanya adalah sesuatu yang kurang menjadi perhatian saya. Saya tidak melihat sesuatu dari apa yang apa sebenarnya dibutuhkan rekan saya tersebut.
Apa implikasi dari penyakit Nanti ya Pak ini?
Pertama, saya berpikir bahwa saya telah membuang momen. Momen untuk memperoleh nilai positif dari kawan saya. Momen untuk membuat teman saya berbesar hatinya karena terpenuhinya apa yang diinginkan. Momen untuk melakukan kenaikan kelas atas hubungan sosial antara saya dengan teman saya. Dengan demikian sesungguhnya saya juga sedang menunda kemenangan atau kenaikan tersebut.
Kedua, Saya tidak melihat teman saya sebagai partner kerja yang seimbang. Karena dengan demikian saya telah berhasil menolak apa yang menjadi keinginannya. Ketiga, Saya telah diracuni oleh pola berpikir waktu dan sibuk yang mengikat fleksibilatas aktivitas saya.
Jakarta, 10 Juli 2009.
Maka ungkapan yang, menurut saya kala itu, baik dan halus adalah kalimat: Nanti ya Pak? Ya sebenarnya kakaknya atau adiknya, atau pastilah satu keluarga dengan ungkapan: Maaf Pak, Saya masih sibuk.
Nanti kapan? Maksud saya kala itu adalah nanti kalau ada waktu yang lowong, yang memungkinkan saya memenuhi apa yang dimintanya. Tetapi setelah sekian lama, atau setelah yang meminta tersebut lupa mengingatkan saya, saya sendiri kemudian di hinggapi kealfaan. Alfa dan lupa itulah yang tidak memungkinkan lagi bagi saya untuk memenuhi apa yang sebelumnya telah menjadi komitmen saya memenuhinya.
Penyakit Nanti ya Pak ini, setelah saya pikir, adalah penyakit egois. Juga ada juga di dalamnya tersembnyi penyakit kurang empati.
Egois. Karena pada waktu tersebut saya kurang melihat apa yang menjadi permintaan teman tersebut. Dan karena kurang melihat atau memperhatikan apa yang sesungguhnya sedang teman minta, maka pada saat yang sama saya hanya melihat ke dalam diri saya sendiri. Tentunya dalam situasi dan kondisi yang demikian, tidak akan mungkin menjadikan orang lain sebagai pengganti apa yang sedang menjadi angan-angan saya saat itu.
Tidak empati? Karena saya tidak sedang memperdulikannya, saya beranggapan bahwa apa yang sedang dimintanya adalah sesuatu yang kurang menjadi perhatian saya. Saya tidak melihat sesuatu dari apa yang apa sebenarnya dibutuhkan rekan saya tersebut.
Apa implikasi dari penyakit Nanti ya Pak ini?
Pertama, saya berpikir bahwa saya telah membuang momen. Momen untuk memperoleh nilai positif dari kawan saya. Momen untuk membuat teman saya berbesar hatinya karena terpenuhinya apa yang diinginkan. Momen untuk melakukan kenaikan kelas atas hubungan sosial antara saya dengan teman saya. Dengan demikian sesungguhnya saya juga sedang menunda kemenangan atau kenaikan tersebut.
Kedua, Saya tidak melihat teman saya sebagai partner kerja yang seimbang. Karena dengan demikian saya telah berhasil menolak apa yang menjadi keinginannya. Ketiga, Saya telah diracuni oleh pola berpikir waktu dan sibuk yang mengikat fleksibilatas aktivitas saya.
Jakarta, 10 Juli 2009.
No comments:
Post a Comment