Ketika pada masa awal menjadi guru, banyak pengalaman yang saya alami berkenaan dengan kompetensi, pola komunikasi dan sosial saya. Terutama dengan dan bersama siswa saya di dalam kelas di sekolah. Tentunya yangberkenaan dengan kekurangan saya sebagai guru yang mencari jati diri dalam menuju profesinalisme. Tidak luput juga dengan apa yang menjadi judul tulsan saya ini. Ponten.
Ini adalah kosa kata Bahasa Indonesia yang baru buat saya, yang lahir dan besar hingga lulus sekolah pendidikan guru atau SPG di desa dan ibu kota kabupaten dengan penggunaan bahasa komunikasi sehari-hari masih menggunakan bahasa daerah. Maka saat menjadi guru saya belum mengenal ponten. Sekalipun saya melahap habis novel Edy D Iskandar, Teguh Esa, Darto Singo, Motinggo Busye, atau novelis lainnya, tetapi tetap saja belum pernah bertemu dengan kosa kata satu ini.
Peristiwanya ketka ada salah satu dari siswa saya bertanya tentang hasil ulangannya apakah saya sebagai gurunya telah memberikan ponten? Saya dengan yakin tentu menjawab sudah. Lalu mengapa Bapak belum juga membagi kertas ulangan kami? Lajut siswa tersebut menuntut. Saya berjanji untuk membaginya esok hari bersama-sama dengan ulangan lainnya yang masih ada pada saya.
Benar saja. Esok harinya, siswa tersebut menghampiri saya ketika saya bersama teman guru lain sedang mengenakan sepatu ketika kami selesai menunaikan Shalat Dzuhur. Katanya sudah diponten, kok belum juga dikembalikan? Belum dibagikan kepada kami? Tuntut siswa saya lagi. Tentu tuntutan yang sangat masuk di akal. Karena memang hari ini saya berjanji untuk mengembalikan dan membagikan hasil ulangan mereka. Dan tentunya saya tetap mengatakan akan dibagi. Hingga siswa saya itu pun berlalu meninggalkan saya dengan penuh heran. Betapa tidak. Saya katakan ulangan mereka sudah selesai saya periksa dan saya beri ponten, tetapi saya belum juga mengembalikan atau membagikan ulangan tersebut. Lalu apa maksud saya? Begitu tentu pikir siswa saya.
Teman yang disamping bertanya kepada saya. Bapak tahu ngak apa maksud dia? Katanya. Saya tahu. Jawab saya yakin. Bapak tahu apa artinya ponten? Lanjut teman saya lagi. Tidak. Apa yang dimaksud dengan ponten? Tanya saya balik. Ponten itu nilai. Diponten itu dinilai. Jadi siswa Bapak tadi minta ulangan mereka kalau Bapak sendiri telah selesai memeriksa dan memberi ponten segera diberikan kepada mereka!
Deg! Saya langsung menyadari dan memahami apa yang diminta siswa saya sejak kemarin. Dan tanpa membuang waktu lagi saya segera menuju ruang kelas dan memberikan kertas ulangan siswa yang telah saya ponten kepada seluruh siswa yang kebetulan belum pulang.
Sikap Terbuka
Apa yang pernah saya alami tersebut adalah proses penundaan kemajuan yang secara sadar atau tidak saya telah lakukan untuk diri saya sendiri. Karena sejak awal siswa saya mengatakan ponten dan saya sendiri tidak terlalu memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan, saya tidak segera melakukan konfirmasi atau secara berterus terang bertanya balik apa yang dia maksud dengan kosa kata itu. Saya memilih untuk berdiam dan berusaha memecahkan persoalan tersebut tanpa ada proses keterlibatan pihak lain, yang mungkin akan memberikan jalan keluar.
Mungkin saya waktu itu sangat percaya diri untuk mampu memahami sepenuhnya apa yang siswa saya, yang masih berusia 6-7 tahun, itu katakana atau maksudkan. Namun itu semua diluar kenyataan yang ada. Saya tetap tidak mampu memahami apa yang dimaksud siswa saya. Hingga pihak ketiga memberikan pertolongan kepada saya. Sekarang saya menyadari. Bahwa ini semua karena saya tidak cukup memiliki sikap terbuka atau sikap berterus terang.
Sikap dimana saya harus mengakui bahwa apa yang mereka maksud atau katakana, saya belum mampu memahaminya. Atau keberanian saya untuk mengatakan bahwa saya belum faham. Sikap tidak terbuka itu yang menyebabkan ilmu saya tentang ponten harus memakan waktu lebih dari satu hari. Sebuah jangka waktu yang tidak efektif bagi sebuah proses pembelajaran.
Sikap tidak terbuka itu terlahir karena saya melihat bahwa siswa saya bukan sumber belajar saya. Bahwa saya secara keilmuan berada pada tataran strata yang lebih tinggi. Belenggu inilah yang memicu perlambatan proses belajar saya.
Sekarang, saya melihat peristiwa dua puluh tahun lalu itu sebagai mutiara yang berkilau. Yang mampu memberikan cermin untuk saya sendiri. Sebuah cermin untuk jujur pada diri sendiri dan terbuka mengatakannya kepada pihak yang belum mampu saya fahami.
Semoga ini menjadi bekal belajar saya berikutnya. Tidak saja yang berkenaan dengan ponten, tetapi tentang berbagai hal yang mungkin jauh lebih luas dan kompleks!
No comments:
Post a Comment