Bangku panjang yang ada di warung kelontong depan rumah Pak RT, malam itu, juga sebenarnya malam-malam sebelumnya, nyaris tengah malam, selalu menjadi ajang bagi tetangga untuk berdiskusi, bercengkrama, juga berdebat. Diantara tema yang ada adalah tentang pilihan 15 Februari 2017, Pilkada.
A: Tidak perlu menyanggah saya. Saya
tahu persis yang paling benar dan paling mampu serta jujur dari tiga nomor
kandidat yang ada. Saya kenal dengan orang-orang yang ada di lingkaran dalam
pada semua kandidat tersebut.
Ungkap A dengan semangat. Profesinya
memang tukang ojeq di perempatan jalan protokol dekat gedung DPR yang selalu ramai kendaraan dan penumpang bus serta mikrolet. Tapi merasa telah menguasai secara
tuntas peta kekuatan Pilkada DKI dari koran pagi yang selalu dibacanya sebelum dan sesudah mengantar pelanggan. Atas
kompetensinya itu, ia menjadi satu-satunya peserta diskusi atau bahkan debat
yang selalu mampu memaksakan pendapatnya. Seperti debat malam itu.
B: Saya paham. Tapi tidak mau menerima
argumentasi agar ikut serta memilih nomormu, atau menjadi bagianmu.
C: Saya hanya ingin menyarankan kepada
kita semua untuk menyampaikan profil dan idialisme masing-masing kandidat.
Bukan memaksa atau bahkan provokasi. Apalagi memojokkan. Persuasi boleh. Logika bahwa yang jujur dan benar hanya
nomormu, katanya kepada A, bisa menjadi sesat.
A: Ngak mungkin salah pendapat saya.
Ini argumen yang dibangun dari fakta.
B, yang adalah seorang pegawai
kantoran, sejak awal sudah kurang menunjukkan gairah berada dalam forum debat
kursi panjang depan warung itu. Untuk itu, tanpa basa basi ia ngeloyor pergi
setelah menerima kembalian uang kopi dari Mas tukang warung.
C: Kalau mau membujuk agar saya ikut
memilih pilihanmu dengan kalimat yang
seperti kamu sampaikan, tampaknya saya juga tidak berminat.
Katanya. Sementara dia bangkit dari
duduk. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
A: Kamu boleh tidak setuju dengan nomor
urutku. Tetapi aku berpendapat bahwa yang jujur dan mampu hanyalah dia. Karena
aku yakin dari apa yang sudah aku ketahui dari ketiga kandidat yang ada. Kalau
kalian, dari mana fakta yang dapat menjadi penarik dari calon-calon kalian.
Meski tinggal berdua, forum debat
politik di bangku panjang depan warung kelontong itu tetap seru. Mas tukang
warung hanya menjadi saksi. Mungkin ia punya pendapat, tapi karena tidak dalam
forum sejak awal, posisinya hanya sebagai pendengar.
C: Kalau sebagai simpatisan saja
kalimat dan pilihan katamu untuk membela dan menyuguhkan kandidatmu pada kami
seperti itu, saya kasih tahu kamu kalau; Saya pasti tidak akan tertarik dan
percaya dengan apa yang kamu omong, dan tidak akan ada yang mau dengar apa yang
kamu omong. Itu saja!
Dan tanpa berpamitan, C langsung
meninggalkan forum debat itu. Begitu juga dengan Mas warung yang segera
bergegas untuk menarik rolling door dan tutup!
Jakarta, 5 Januari 2016.