Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

31 October 2014

Jam Kosong #4; Mengajar Puisi

Hampir 7 hari kerja pada pekan lalu, dua Mata Pelajaran yang ada di sekolah kami harus kosong. Ini tidak lain karena dua guru kami harus mendampingi sebagian anak-anak kami yang lain, yang berangkat untuk home stay di negera tetangga. Maka tidak ada pilihan yang bagus selain menjadikan kami sebagai guru pengganti. 

Walau kami mendapat pertolongan dari seorang teman yang mengajar di Bimbingan Belajar untuk dapat menggantikan salah satu guru kami yang menemani siswanya itu. Tetapi rupanya hanya satu guru saja yang dapat membantu kami. Dan itulah yang menjadi salah satu bagian dari mengisi jam kosong tersebut.

Jadilah saya mengisi jam pelajaran yang kosong, yang pada saat itu di kelas IX untuk Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Alhamdulillah bahwa saya, karena kegemaran, mengoleksi beberapa karya sastra, termasuk video para penyair yang sedang beraksi membacakan pusisinya, yang saya dapat dari internet. 

"Pak Agus mau ngajar apa untuk kita hari ini Pak?" Tanya seorang siswa sebelum saya selesai membuka dan menyalakan lap top. 

"Bagaimana kalau Pak Agus mengajar apa yang Pak Agus bisa?" Jawab saya.

Dan dialog tersebut tetap berlangsung sampai saya benar-benar siap memulai. Namun semua tampak normal-normal saja. Hingga saya memulai menyampaikan tentang unsur instrinsik sastra, sebelum akhirnya menyajikan video penyair yang membacakan puisi. Dan ini menjadi kegiatan yang membantu saya untuk membuat pelajaran puisi di siang itu menjadi tidak sekedar mengisi jam pelajaran kosong.

"Bapak ngajar lagi saja Pak di kelas kami. Ngajar Bahasa Indonesia juga tidak apa-apa." Begitu seorang akan menegur saya ketika saya akan masuk ke kelas VII untuk mengajar tentang ekonomi, yaitu Kegiatan Ekonomi.

Jakarta, 31 Oktober 2014.

Jam Kosong #3; Mengajar VOC

Dua hari sebelum jam kosong Mata Pelajaran Sejarah, saya mendapat SMS dari wali kelas. Termasuk di dalamnya kelas, jam pelajaran keberapa, dan juga mareti pelajaran yang sudah disiapkan oleh guru aslinya. Oleh karena itu, maka masih ada waktu buat saya untuk melihat uraian materi yang memang harus saya sampaikan, termasuk juga bagaimana saya nanti di kelas. Apakah saya akan meminta mengerjakan tugas yang guru tinggalkan dan saya hanya bertugas sebagai pengawas? 

Tidak. Saya akan mengajar apa yang sudah diamanahkan oleh guru Sejarah, tetapi tidak ingin kalau hanya sebagai pengawas atau menunggui ketika anak-anak sedang mengerjakannya sepanjang 2 x 45 menit. Karena pasti menjadi waktu yang membosankan.

Karena itu, saya menjadi teringat presentasi saya kepada teman-teman guru beberapa waktu lalu ketika saya bercerita tentang Daendels, menurut versi Novelnya, Pramudya Ananta Toer. Tetapi karena Daendels menjadi Gubernur Jenderal Di Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan, maka saya akan coba membuat benang merahnya.

Dan dari materi yang saya dapatkan dari teman-teman guru yang berhasil saya dapat pada saat googling, maka sebelum memulai cerita Daendels setelah kebangkrutan VOC dan salah satu upaya penjajah dalam mempertahankan Jawa sebagai tanah jajahannya, maka tampillah Daendels.

Dan tentang VOC sendiri, saya membuat alur waktu atau time line perjalanan sejarah kongsi dagang itu. Yang kemudian saya bagikan kepada anak-anak untuk menjadi pembahasan pertama sebelum presentasi saya, saya sampaikan. Alhamdulillah bahwa waktu 2x45 menit tersebut kami lalui tanpa ada yang menyelak. Saya hanya berharap agar apa yang saya lakukan sebagai guru pengganti tidak menjadi waktu yang anak-anak jalani menjadi hambar atau bahkan sia-sia. Semoga pertemuan itu selain anak-anak dapat belajar, saya juga mendapatkan pembelajaran bagaimana mengajar VOC di kelas pada jam kosong itu.

Jakarta, 31 Oktober 2014.

28 October 2014

Pejabat Baru; Jalan ke Kampung Saya Nanti Bagamana ya?

Sangat sederhana bagi saya degan jabatan-jabatan baru yang baru saja diisi untuk lima tahun ke depan. Dan sebagai bagian dari masyarakat yag sederhana, harapan saya antara lain adalah bagaimana jalanan ke kampung saya ketika nanti saya mudik? Harapan ini pernah saya sampaikan dalam catatan sebelumnya, yaitu tentang bagaimana perjuangan saya dalam menempuh perjalanan dari Jakarta dan ke Purworejo, Jawa Tengah.

Bukan kendala saja yang saya sampaikan dalam catatan saya itu. Juga termasuk di dalamnya adalah mulusnya jalan-jalan. Namun ya itu, seperti ada ketidakkompakan  antara kondisi jalan di suatu wilayah dengan wilayah yang lain. Dan ini menjadi pertanyaan buat saya kala itu; Apakah daerah dengan kondisi jalan tidak berkuaitas tersebut memiliki penguasa?

Seperti misalnya ketika saya memilih jalan Pantura ketika saya keluar dari pintu tol Cikampek. Tidak semua ruas jalan itu bebas dan lancar untuk dilalui. Kadang ada di beberapa ruas jalannya yang mengharuskan kita bergantian melaluinya. Karena ruas jalan sebelah masih dalam proses pengerjaan. Hal ini menjadikan kami, pengguna jalan, haryus benar-benar membuang waktunya untuk antri. Ya benar, kami hanya antri di lokasisemacam itu. Namun meski antri, kami butuh waktu untuk menjalaninya.

Demikian pula ketika kami harus masuk di daerah Ketanggungan, Prupuk, tanjakan Tonjong, Bumiayu, bahkan hingga Masuk kampung halaman di Purworejo setelah kendaraan keluar dari Gerbang Pintu Tol Pejagan, laju kendaraan tidak dapat dipacu secara separtan dalam kecepatan lebih dari 60 km/jam. Harus terukur sesuai dengan kondisi jaan yang kadang miring, berundak karena tambalan, juga minim marka jalan dan rambu, utamanya spot ligth jika perjalanan di malam hari.

Deikian pula keadaannya ketika saat itu perjalanan mudik saya memilih rute Bandung, Rancaekek, Nagrek, Banjar, Wangon. Kondisi bagus dan nyaman ketika kami masih berada di wilayah Jawa Barat . Namun begitu masuk Jawa Tengah, maka marka yag tidak baru lagi menjadi hambatan untuk kami ketika perjalanan malam. Juga spot ligth yag tidak begitu bayak dipasang di setiap tikungan. Yang mengharuskan kita sebagai pengemudi harus tetap waspada dan hati-hati.

Oleh karena itu, dengan pejabatn baru, harapan saya untuk mudik hanyalah kondisi jalan yang nyaman. Dalam arti bahwa, saya dapat merasa menikmati jalanan sebagaimana seharusnya, atau selayaknya jalanan di dalam kota Jakarta. Tidak semua mulus memang, tetapi relatif enak berkendara. Apalagi ketika pukul 23.00. Semoga. Amin.

Jakarta, 28 Oktober 2014.

25 October 2014

1 Muharam 1436 H

Hari ini, Sabtu, 25 Oktober 2014, bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 1436 Hijriah. Tidak ada sesuatu dengan konversi penanggalan itu. Tetapi saya sedikit merasa ada sesuatu yang berbeda. Karena tidak ada ormas Islam satu pun di Indonesia yang merasa memiliki perhitungan yang berbeda dengan jatuhnya tanggal 1 Muharam 1436 Hijriah itu. Pemerintah dan seluruh ormas yang ada tampaknya sepakat bahwa hari ini, Sabtu, 25 Oktober 2014 Masehi adalah juga tanggal 1 Muharam 2014.
Ini adalah foto profile seorang teman yang merupakan kreativitas kritis. Dimana hari ini adalah hari ke-6 setelah Pelatikan Presiden baru RI.
Tidak ada hingar-bingar penentuan penanggalan Hijriah sebagaimana yang selalu terjadi pada penentuan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dimana pada dua hari raya tersebut beberapa ormas seperti berlomba 'kepintaran' dan 'kebenaran' atas penentuan tanggal tersebut 'melawan' apa yang telah Pemerintah simpulkan dalam kalender yang berjalan.

Dan karena tidak ada perbedaan penentuan tahun baru Islam tersebut, maka tidak ada perbedaan hari libur dengan tanggal merah yang ada di penanggalan.

Jakarta, 25.10.2014.

20 October 2014

Tidak Mengeluh

"Apa yang akan saya samaikan ini bukan karena saya mengeluh ya. Jujur, saya sesungguhnya sedang buntu akal karena apa yang saya sedag jalani sekarang ini. Apa kata atau kalimat, atau malah jalan yang terbaik." Kata teman saya suatu kali ketika kami bertem untuk sekedar saling membagi dan melepas pengalaman masing-masing kami yang dulu pernah terikat dalam satu kepentingan yang sama karena berada di tempat kerja yang saya, yang sekarang harus berpisah dan berbeda kantor karena kepentingan masa depan yang kami tempuh.

Teman saya bercerita itu didengar oleh kita semua yang dapat hadir di sebuah lokasi di Jakarta yang kalau sore kita harus berjibaku untuk sampai ke lokasi. Tetapi karena ikatan pertemanan kami yang pernah sekantor itu begitu erat, barangkali, maka kami dari lokasi kantor masing-masing berupaya untuk dapat sampai di lokasi yang disepakati.

Ada teman yang harus berangkat dari Cikreteg, Bogor seusai jam kantor, sementara kami yang lain, beruntung tidak datang terlalu jauh. Tetapi tetap saja membutuhkan waktu tempuh yang tidak terlalu jauh berbeda dengan teman yang dari Bogor.

"Ya tidak perlu mengatakan bahwa apa yang kita alami sebagai pengalaman itu adalah masuk dalam ranah mengeluh. Mungkin berbagi. Karena pengalaman Anda bisa jadi akan menjadi pelajaran bagi saya. Juga apa yang saya alami sangat boleh jadi dapat enjadi cermin Anda semua. Jadi kita berada di sini berbagi cerita karena sudah sekian lama kita tidak saling bercengkerama." Begitu saya mencoba untuk dapat membuka kebekuan.

Dan berlangsunglah apa yang menjadi pengalaman kami masing-masing untuk dituang ke meja makan yang ada di restoran itu. Masing-masing kami tentunya akan mengambil bagian-bagian cerita yang memungkinkan dapat menjadi cermin buat kami di masa depan. Dan itu bebas-bebas saja. Mengalir seperti aliran sungai di pegunungan yang mengalir lancar denga air yang bening gemericik.

"Memang baru kali pertama hal ini saya dapat. Dan sama sekali tidak berharap akan ada lagi berkutnya sepanjang sya mendapat amanah sebagai Kepala Sekolah." Lanjut teman saya itu. Tidak terlalu terbuka apa yang disampaikannya. Tetapi sebagai pendahulunya, saya segera paham akan apa yang sedang dialaminya. Ini karena saya pernah bersentuhan dengan hal yang sama kala sebagai mengeban posisi yang dia miliki sekarang ini.

Pertama, yaitu dengan seorang kandidat dari Depok yang super. Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang aduhai. Yang memiliki ketertarikan terhadap apa yang sedang kami butuhkan kalai itu. Namun karena ada ketentuan yang harus ditanggalkan, itulah yang menjadikannya mundur dan melapaskan diri untuk tidak turut serta sebagai bagian dari kami.

Kedua, adalah apa yag saya dapat cerita dari sakah seorang prosfective parent, yang secara kebetulan saya mengenalnya dengan sangat baik sebelumnya. "Bagaimana ya Pak Agus sebaiknya?" Begitu ia menyampaikan pertanyaan kepada saya. Pertanyaan yang sangat tidak mudah untuk saya berikan jawaban sebagai jalan keluarnya.

Dan sungguh. Antara lain karena itulah saya berkomitmen untuk segera kembali ke habitat saya yang homogen dikemudian hari. Pikir saya kali itu, yaitu dengan memutasikan diri. Alhamdulillah cita-cita itu dikabulkan oleh yang di atas. Jadilah saya bermigrasi. Lalu bagaimana dengan teman yang sedang bercerita di hadapan saya itu? 

Tidak etis bila saya harus menyampaikan apa yang pernah saya alami tersebut dihadapan teman-teman yang lain. Tetapi, ketika dalam suatu kesempatan berikutnya, saya menyampaikan apa yang pernah saya lakukan tersebut kepadanya. Pilihan apa yag akan diambilnya? Itu menjadi keputusannya. Saya tentunya berharap, yang terbaik.

Jakarta, 20.10.20 (14).

19 October 2014

Jam Kosong #2; Mengajar Cerpen

Pagi itu, saya mendapat informasi kalau ada guru yang harus melakukan kegiatan survey guna kesiapan sebuah kegiatan siswa di bulan depan. Jadi kegiatan survey itu dilakukan untuk menentukan tempat kegiatan siswa dan sekaligus juga acara-acara yang dapat dilakukan siswa. Karena lokasi survey lumayan memakan waktu, maka hingga pagi itu tim survey belum kembali ke Jakarta. Ituoah jam kosong yang harus ia tinggalkan, yang kemudian menjadi bagian saya.

Memang bukan saya yang seharusnya berada di kelas yang ada jam kosong tersebut. Karena Bapak Guru yang tidak berada di tempat tersebut telah menyiapkan kegiatan belajar yang harus dipandu oleh guru piket. Namun karena saya ingin sekali masuk kelas yang dianggap paling ribut, maka jam pelajaran kosong itu saya minta untuk dapat saya isi dengan program belajar yang saya inginkan.

Jadilah pagi itu saya menyiapkan kegiatan yang ingin saya sampaikan. Yaitu setelah melihat SKL atau standar kompetensi lulusan untuk kelas IX di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya memilih untuk memberikan materi pelajaran tentang unsur intrinsik dalam fiksi cerita pendek.

Bagaimana saya di dalam kelas? Mungkin sama dengan teman-teman yang lain. Setelah aak-anak benar-benar siap, maka saya baru memulai menyampaikan unsur intrinsik tersebut dengan membuat bagan di papan tulis. Memberikan sedikit penjelasan tentang unsur-unsur yang ada. Penjelasan saya sedikit karena memang materi ini sudah banyak disampaikan oleh guru Bahasa Indonesia.

Bagian berikut setelah penjelasan saya yang sedikit tentang unsur intrinsik tersebut adalah membacakan cerita pendek dari Putu Wijaya yang berjudul Boikot. Cerita pendek ini saya pilih setelah sebelumnya search untuk menemukan cerita pendek yang menarik saya sampaikan di kelas. Dan supaya anak-anak fokus terhadap apa yang saya sampaikan, saya memintanya setiap mereka membuat enam belas persegi di dalam bukunya untuk ditulisi enam belas kata yang saya diktekan.

Saya minta agar supaya anak-anak itu memberikan tanda siang terhadap kata-kata yang saya sebut ketika membacakan cerita pendek tersebut. Ini saya lakukan untuk membantu anak-anak itu menyimak apa yang saya baca dengan lebih baik dan fokus. Alhamdulillah, sepanjang saya membaca cerpen tersebut, anak-anak mengikutinya dengan baik dan tertib sesuai harapan saya.Dan sebagai akhir dari pertemuan saya dengan kelas IX tersebut, adalah mendiskusikan cerita pendek tersebut dalam kerangka unsur intrinsiknya. 

Saya bersyukur bahwa pertemuan saya sepanjang 90 menit bersama anak-anak tersebut dapat saya selesaikan dengan baik menurut ukuran saya. Dan mudah-mudahan pertemuan itu memberikan dorongan kepada anak-anak untuk membaca teks sastra bukan saja karena dorongan pelajaran di sekolah semata, tetapi memang karena kahausannya akan bahan bacaan yang bermutu serta mencerdaskan.

Dengan semangat otu pulalah saya mencoba untuk memberikan pengalaman kepada anak-anak  untuk berhubungan dengan teks sastra sebagaimana yang saya lakukan tersebut. Mudah-mudahan. Amin.

Jakarta, 19 Oktober 2014.

16 October 2014

Bagaimana Seharusnya?

Siang kemarin, saya harus mengurungkan niat untuk menuju ke ruang admission yang berada di seberang hall sekolah. Niat itu saya urungkan ketika ada dua orangtua siswa yang sedang asyik bercengkerama setelah mereka usai melakukan pertemuan di lantai 3 sekolah. Bukan karena saya tidak ingin bertegur sapa dengan mereka, ini karena saya sendiri malu ati untuk melintas dihadapan keduanya.

Bagaimana saya mengurungkan niat untuk tidak jadi melintas? Tidak lain adalah balik kanan dan kemudian masuk ke salah satu ruang kelas yang tidak jauh dari ruangan saya. Hal ini tidak lain karena sungkan saya jika harus melintasi kedua orangtua itu. betapa tidak, karena ketika melintas maka mau tidak mau saya harus menegur salah satunya untuk membetulkan posisi duduknya yang tidak patut.

Dan ini menjadi pekerjaan saya yang paling tidak saya suka. Mengingat pekerjaan itu sudah lebih dari satu kali saya lakukan meski kepada orang tua atau teman yang berbeda. Dan sungkan itu semakin tebal manakala yang melakukan justru tamu kami. Karena lumrah saya mengingatkan teman kami yang duduk dengan posisi yang tidak sepatutnya seperti itu. Apakah itu teman-tean dari support services atau Pramubakti atau bahkan teman guru. Tetapi dengan orangtua siswa? 

"Kenapa Pak kok tumben?" Begitu sapa Pak Fikri yang mengajar bahasa Inggris di kelas yang saya masuki. Dia bersama dua teman guru lainnya sedang asyik menikmati makan siangnya masing-masing. Mereka yang berasal dari kelas yang berbeda berkumpul dalam satu ruangan untuk menghemat lampu dan pendingin udara.

"Saya ingin minta tolong Bapak atau Ibu disini memberian komentar dari foto-foto yang tekah saya terima untuk dicetak di buletin sekolah. Tidak perlu panjang, cukup singkat dan padat." Kata saya membuka percakapan dengan masalah yang berbeda dengan apa yang baru saja saya alami ketika melihat pemandangan tidak enak di ruang bersama.

"Hanya satu halaman Pak?" Tanya teman itu.

"Untuk kelas ini satu halaman saja. Yang ini untuk kelas lain. Tetapi harus saya tunda karena jalan menuju ke sana terhambat oleh pemandangan tidak enak." Jelas saya.

"Apa yang terjadi Pak?" Tanya teman saya itu penuh rasa ingin tahu. Kepo, kata anak-anak.

"Ada yang sedang asyik mengobrol tetapi salah seorangnya dengan duduk yang tidak sepatutnya?" Kata saya tanpa memberikan pejelasan lebih jelas lagi.

"Bagaimana seharusnya Pak?" Kejar teman saya lagi.

"Mungkin seharusnya apa yang pantas ditiru anak, itulah yang pantas. Dan kebalikannya, kalau anaknya meniru akan jelek menurut norma berarti itu tidak sepatutnya." Begitu penjelasanan saya. Semoga teman saya itu mengerti apa yang saya maksudkan...

Jakarta, 16 Oktober 2014.

Sertifikasi Guru #1; Password Operator

Hari-hari ini, disetiap lembaga pendidikan baik negeri atau swasta, harus memiloiki tenaga administrasi atau sejenisnya, yang memiliki tugas sebagai pemutakhir data. Baik data sekolah dengan segala jenis administrasinya, juga tidak kalah pentingnya adalah data guru. Dan setiap dari mereka setelah lulus sebagai operator sekolah, maka memiliki password untuk membuka sistem administrasi yang on line

Dalam catatan saya ini, saya tidak akan menyampaikan betapa sulitnya memutakhirkan data yang ada di komputer pusat, karena jaringan yang tidak stabil, juga karena bisa jadi band wicth yang ada tidak memungkinkan untuk dapat dengan mudah dan lancar diakses secara bersama-sama oleh para operator sekolah itu. 

"Saya harus bekerja di rumah Pak untuk dapat mengakses internet yang relatif stabil. Dan itu harus saya lakukan paling cepat setelah tengah malam." Kata salah seorang guru IT yang mendapat tugas tambahan sebagai operator sekolah juga. Dan ini tugas tambahannya karena operator sekolah yang terdaftar di Dinas adalah TU sekolah. Namun untuk memberikan bantuan dan supporting kepada sang operator, maka dibutuhkan keberadaannya. Dan ini hanya sebagai gambaran kecil saja.

"Jangan sekali-kali menyinggung atau membuat tidak nyaman operator sekolah Pak, karena sekarag ini kita bergantung dengannya. Karena password dia yang punya." Begitu suatu hari seorang pejabat pendidikan di Kecamatan menasehati para Kepala Sekolah setelah mereka berolahraga pagi bersama. Apa yang disampaikan ini adalah gabaran lain dari administrasi sekolah berbasis internet. Yang memberikan gabaran posisi operator sekolah yang rata-rata adalah bagian tata usaha di sekolahnya masing-masing.

"Karena selain administrasi sekolah, mereka juga yang akan melakukan permutakhiran data guru. Teritama guru-guru yang sedang dalam pengajuan NUPTK atau bahkan yang sudah tersertifikasi. Salah-salah, karena data guru sertifikasi yang ada dalam  dapodik menyebabkan dana sertifikasinya terhambat atau bahkan tidak keluar." lanjut pejabat itu.

Dari kenyataan tersebut, maka sekolah sekarang seperti tersandera dengan para operator sekolahnya, terutama karena hambatan password yang menjadi rahasia operator. Bagaimana jika TU mereka yang berstatus oparator tersebut kemudian berubah etos kerjanya? Inilah masalah yangdi beberapa sekolah sedang dihadapi.

Operator dengan passwordnya itu kadang sulit dicari keberadaannya. Bahkan meski tlah diadakan 'patungan' bersama-sama antar penerima sertifikasi. HP yang dihubungi tetap sulit untuk menemukan keberadaannya. Dan itu semua berawal dari password yang rahasia...

Jakarta, 16 Oktober 2014.

15 October 2014

Terlambat ke Kantor

Ada yang tidak normal bila ada teman yang kebetulan berada dalam satu ruangan kerja dengan Anda yang relatif sering sekali datang tidak tepat waktu. Dan alasannya berbagai rupa. Padaal kta semua tahu bahwa rumah dimana ia tinggal tidak lebih dari 2 kilometer jauhya dari Pasar Rumput, Setiabudi, Jakarta Selatan. Hanya sebagai gabaran betapa tidak akan mungkin tidak ada kendaraan umum yag dapat dimintai pertolongan di daerah semacam itu.

"Rumah saya memang dekat dari kantor dibanding teman-teman lannya yang di Bekasi atau di Depok. Tetapi sulit menemukan bajaj atau ojeg dari rumah saya." Begitu mungkin teman Anda akan memberikan alasan paling up datenya ketika masih juga datang terlambat pagi ini. Namun meski Anda dan teman-teman yang lain hanya senyum-senyum getir atau cuek, tetap saja perilaku itu akan kambuh esok harinya. Karena memang mental kerjanya yang abal-abal. Dan ketahuan saja bahwa setiap tahun ia meregek minta nambah kenaikan gaji sama bos. Dan setiap kali pula bos tidak akan menggubris apa yag disampaikan kepadanya.

Biarlah model karyawan seperti itu menjadi tanggungjawab bos atau tanggungjawab atasan yang ia punya. Aapakah memang kantor tetap rela dengan model kerja karyawan sebagaimana yang saya gabarkan tersebut. Kalau kantor mmang rela, pasti karyawan model seperti itu tetap dipeliharanya meski ia tidak lebih sebagai beban kantor. Tetapi jika bos merasa sudah terusik oleh omongan teman-teman yag lain yang rajin, maka bisa jadi bulan depan karyawan model seabrek semacam itu dirumahkan. Supaya fokus mengurus rumah, mungkin suami dan anak, serta tidak  terbebani beban yang memag sepertinya tidak disanggupinya.

"Orang-orang seperti itu mestinya malu dengan kenyataan bahwa banyak bus karyawan yang harus antri parkir di rest area yag seuprit sebelum masuk TOL Dalkot di Cawang." Begitu kata seorang teman yang setiap pukul 04,20 sudah berada di atas bus salah satu yang ikut antri itu kepada saya suatu hari ketika kami sedang diskusi tentang jam masuk kerja.

"Apa yang Bapak lihat dengan fenomena itu di rest area?" Tanya saya kepada teman yang memang luar biasa disiplin dalam menunauikan amanah kerjanya sebagai karyawan.

"Bus kami harus mengejar secepat mungkin untuk sampai ujung TOL Dalkot itu Pak. Sepagi mungkin dengan jam jalan kami yang relatif sama. Dan sepagi itu kami harus menyisakan waktu tidak kurang 15 menit untuk menunaikan sholat subuh." katanya dengan datar dan normal saja. 

Obrolan itu harus terputus karena saya sendiri menerima telpon dari orang kantor. Tetapi saya ingin melihat bahwa ada dua bentuk perilaku karyawan yang ada di atas. Akan memilih jalan yang mana kita? Sepertinya tidak harus saya yang menentukan. Karena kita semua yang posisinya di kantor adalah karyawan, dapat mengambil sikap luhur. Semoga.

Jakarta, 15 Oktober 2014.

14 October 2014

Desaku tentang Kelestarian Burung

Memang masih menjadi mimpi bahwa kawanan burung, apapun burungnya, bebas bekeliaran mancari makan dan bersarang serta berkembangbiak di kampungku yang ada di wilayah selatan Jawa Tengah. Saya katakan mimpi karena kenyataannya adalah kebalikan dari itu semua. Bajing dan tupai itu diburu dengan senapan angin, dan burung-burung dijebak dengan getah atau jaring. Dan anak-anak mereka yang sedang dierami tidak akan selamat sepanjang bajing atau burung itu bersuara untuk dapat diketahui lokasi sarangnya oleh para 'pemburu' uang.

Itulah memang yang menjadi realita hidup. Sebuah kenyataan yang mengakibatnya tidak dan sulitnya suara burung bernyanyi di dahan-dahan pohon kelapa atau pohon randu yang menjulang tinggi di pekarangan rumah. Semua menjadi sunyi tanpa bunyi burung. 

Memang ada sekali-kali bunyi burung emprit yang memang kurang diminati, yang bebas berkeliaran di dahan pohon mangga yang ada di samping rumah orangtua saya. Juga dari kejauhan bunyi tekukur.

"Itu masih ada tekukur Ben?" Tanya saya kepada adik yang memang tinggal di desa.
"Itu burung yang aman karena kurang laku di pasaran." Jawab adik saya memberikan penjelasan sekaligus. 

Kenyataan yang lain, ketika saya datang ke salah satu rumah warga yang memiliki tidak kurang dari 4 sarang burung yang berbeda isinya antara satu dengan yang lainnya. Tiga ekor burung ukuran kecil, seukuran burung prenjak, dan yang satu sangkarnya berisi burung seukuran burung kutilang.

"Apakah ini burung prenjak?" tanya saya kepada tuan rumah yang kebetulan masih memiliki hubungan darah dengan saya.

"Bukan Mas. Itu burung saya pelihara sejak anak-anak. Yang prenjak minggu lalu sudah laku Mas. Sekarang sedang kosong." Kata tuan rumah.
Salah satu kepedulian Pemda akan kelestarian Burung Hantu di Pati.
Atas apa yang saya kemukakan di atas, nampaknya akan ada suatu masa dimana bahwa semua atau sebagian besar jenis burung di desa saya akan punah. Dan itu tinggal menunggu waktu. Seperti tidak akan pernah lagi kita mendengan nyanyian burung liar lagi sejak pagi hingga sore. Seperti burung tuwu, burung perkutut, burung jalak, ayam hutan, atau juga burung kutilang. Burung-burung itu telah bermigrasi ke sangkar para pecinta burung.

Akankah desaku mengadopsi apa yang telah dilakukan oleh Pemkab Pati untuk melestarikan burung Hantu? Semoga.

Jakarta, 14 Oktober 2014.

13 October 2014

Seharusnya, Tapi...

"Yang kami maksudkan dalam persoalan ini sebenarnya adalah Bapak A, Bapak B, Bapak C. Tetapi karena keberadaan Ibu ada di dalam ketiga Bapak tersebut, maka logikanya keempatnya menjadi satu paket." Kata teman saya yang bergiat sebagai pendamping bagi orang-orang yang sedang memiliki persoalan.

Itulah yang kemudian dalam catatan saya ini saya beri judul Seharusnya, tetapi. Bahwa sesungguhnya keberadaan Ibu tidak masuk dalam paket yang sedang diperkarakan. Ia berada di luar itu semua. Namun karena keberadaannya ada dan beririsan, maka beliau masuk juga di dalamnya. Lalu, bagaimana dapat memberikan penjelasan bahwa sesungguhnya ia tidak berada di dalamnya jika kenyataannya ia masuk dalam ranah yang sama?

Terlebih  harus diakui bersama bahwa, ranah yang telah mereka masuki adalah ranah yang tidak memungkinkan keempat-empatnya beranjak mengelak atau bahkan untuk menghindar meski sekejab saja. Mereka telah masuk dalam sebuah lorong waktu yang tidak memungkinkan kembali lagi dalam sebuah rumah keluarga yang hangat.

Mereka telah secara sadar dan bersepakat masuk dalam sebuah persoalan yang harus dipindahtangankan. Persoalan yang tidak memungkinkan ayah dan ibu dapat berbicara secara hangat dan dari hati ke hati. Semua harus berangkat dari fakta, bukti, pasal, dan perkara.

Dan dengan kenyataan itulah maka saya ingin mengatakan bahwa, tidak ada lagi kata seharusnya yang dapat saya pilih. Karena yang ada, dan fakta yang memang akhirnya masuk dalam persoalan yang diinginkan adalah memang tidak ada.

Apa pelajaran bagi saya? Tidak lain adalah sebagaimana yang teman sebelah katakan selalu kepada saya; jangan pernah rakus dengan dunia...

Jakarta, 9-13 Oktober 2014.

12 October 2014

Menemukan 'Mutiara' di Buku Bekas

Ada 3 buku yang sebenarnya ingin saya bawa pulang ketika saya minta tolong diantar oleh sopir ke shopping center yang lokasinya ada di bagian belakang Taman Pintar. Ketiga buku yang selama ini selalu saya dengar ketika kami bersama-sama hadir mendengar nasehat Abang.Untuk itu tidak berlebihan bila saya menyebut ke-3 nya sebagai mutiara. Paling tidak mutiara pengetahuan.

Ini terjadi pada saat liburan Idul Qurban yang lalu itu. Ketika saya mencoba untuk mencari buka yang berbeda, yang pada saat di Jakarta, di toko buku gurita, saya telah memegangnya namun merasa tidak rela jika harus membeli buku mutiara yang lain di toko buku gurita. Maka buku-buku yang tidak jadi saya bawa ke loket membayar tersebut cukup hanya saya mengingat judul dan penerbitnya saja. Dengan maksud, bahwa bulan berikut ketika saya mudik, saya dapat menemukan buku-buku itu di langganan saya di shopping center. 

Tetapi entah bagaimana, prediksi saya meleset semua. Bahwa buku-buku yang tidak jadi saya beli ketika saya masih di Jakarta lalu itu, tidak satu pun yang saya ketemukan di seluruh pelosok toko yang ada di kwasan shopping center. Bahkan buku-buku tersebut belum pernah ada di lokasi penjualan buku ini. Apakah mungkin karena harga perbukunya lumayan mahal? Saya kira tidak juga. Karena di lokasi itu bnyak juga buku-buku teks kedokteran yang harganya wuih...

Dan tidak mengecewakan juga saya meninggalkan lokasi yang selalu membawa rindu itu. Karena banyak juga buku-buku yang menarik mata untuk dilihat dan selanjutnya dipilah untuk diputuskan dibawa pulang atau tidak. Diantara buku-buku yang menarik perhatian saya adalah buku sastra yang menjadi 'lanjutan' dari buku sastra yang sepanjang perjalanan di kereta api Jakarta-Yogyakarta saya pegang.

Juga ketiga buku yang saya sebut mutiara tersebut. Saya temukan ketika saya sedang berjuang menemukan buku yang menjadi incaran saya sejak dari Jakarta.

"Saya sedia yang second Pak. Harganya pasti lebih murah." Begitu kata seorang Bapak pemilik dan sekaligus pedagang buku kepada saya pada saat saya memegang buku-buku dari Al Maroghi.

"Ada 30 seri Pak. Bapak bisa mengambil tidak perlu semuanya Pak. Dipilih saja seri mana yang Bapak inginkan." lanjut Bapak itu. Mungkin melihat tampilan saya sehingga dia mencoba memberikan pilihan kepada saya. 

Memang tidak semua buku yang ada dari seri-seri yang ditawarkan akhirnya saya ambil semua. Sebagaimana yang disarankan bahwa saya boleh mengambil sebagiannya. Dilain pihak, ketika saya melihat tahun cetak dari buku mutiara tersebut, saya menjadi tercengang atas ketertinggalan saya dalam menemukan informasi.Karena saya mendapat dan selalu ingat bagaimana nasehat Abang dengan sumber dari bukub-buku tersebut seolah baru-baru ini saja (?).

Jakarta, 12 Oktober 2014.

Mengajarkan Keterampilan Mengajar

Sebagaimana yang saya tulis dalam catatan saya sebelumnya berkenaan dengan memberikan ide model atau strategi mengajar sebagai 'jalan keluar' kepada teman-teman guru, maka sesungguhnya itulah yang saya sebut sebagai memberikan bekal, atau tepatnya memancing sebagai pemicu kepada guru untuk menjadi pintar dan terampil mengelola kelas.

Saya yakin sekali bahwa hanya keterampilan itulah yang menjadi pembuka bagi teman-teman guru untuk mendapat penghargaan dari semua penghuni kelas. Utamanya siswa. Dan itu perlu semangat serta konsistensi yang kuat dan persisten dalam menjadikan dirinya sebagaimana impian tersebut.

Setidaknya itulah yang saya dapatkan ketika  berjalan-jalan di kelas-kelas dimana masih mendengar dan melihat bagaimana anak didik di dalam kelas belum sepenuhnya memberikan rasa hormat kepada pendidiknya.Seolah semua serba boleh. Dan seolah yang serba boleh itulah yang dinamakan kelas demokratis. Sebagaimana yang saya sendiri pernah juga lakukan di sebuah kelas, dimana tidak akan ada yang berbicara bila sedang ada yang berbicara. Tidak juga guru bilamana ada siswa sedang menyampaikan pendapatnya. 

Tetapi apakah begitu mudahnya dalam memiliki ketereampilan mengajar yang talk less do more dari sisi guru - siswa? Konsepnya mudah, tetapi relatif sulit dalam menjalankan kesehariannya.

Dan untuk menjembatani kesulitan tersebut, saya mencobanya membuat sebuah fragmen nyata dihadapan teman-teman guru yang pada fragmen tersebut menjadi peserta didik saya. Sebuah kegiatan belajar tentang kebersihan ruangan. Dalam kegiatan awal, saya mengajak teman-teman semua berdiskusi berkenaan dengan tata ruang yang disepakati sebagau ruang yang nyaman. Nyaman untuk dilihat dan dipandang, dan juga nyaman sebagai tempat bekerja.

Hasil diskusi tersebut, kita jadikan acuan untuk membuat rencana dan sekaligus rancangan bagi pembuatan atau penataan ruangan sebagaimana yang diinginkan. Maka teman-teman saya kelompokkan dalam kelompok 4 orang. Yang pada setiap kelompok tersebut saya bagi ruangan mana yang harus mereka rancang dan sulap sebagaimana yang diinginkan. Setelah semua sepakat dengan kelompoknya masing-masing, maka saya memberikan waktu lebih kurang 3 jam untuk mereka lakukan apa yang menjadi tugasnya masing-masing.

Apa hasil 3 jam setelah itu? Dengan bersimbah keringat, teman-teman dengan bangga membawa foto ruangan dengan perbandingan pada sebelum dan sesudah penataan. Mereka semua memberikan raut muka bangga atas kerja mereka masing-masing ketika gambar-gambar tersebut di tayangkan lewat slide.

Saya mengajak diskusi, apa sesungguhnya yang sedang kita pelajari dengan kegiatan semacam itu? Alhamdulillah, semua memberikan masukan, pendapat, pandangan, dan kontribusi positif dengan kegiatan semacam itu. Tidak ada yang merasa dikerjai olleh kegiatan semacam itu.

Pendek kata, saya ingin menyampaikan pesan kepada teman-teman bahwa berhasil mengajar itu; ketika guru siap dengan apa yang akan dibawa di dalam kelas, ketika guru membuatkan kegiatan untuk anak didik lakukan bagi pencapaian tujuan belajar tersebut, dan ketika kegiatan itu memberikan tantangan dan rangsangan kepada anak untuk bergiat dan menimba rasa ingin tahunya.

Jakarta, 12 Oktober 2014.

10 October 2014

Akreditasi #5; Terjebak Setting Kelas

Ada catatan saya disaat akreditasi sekolah beberapa waktu lalu yang nyaris terlewatkan oleh ingatan. Alhamdulillah catatan itu mengemuka kembali dan layak untuk segera saya buat dalam catatan saya ini. Ini penting sekali karena masih ada salah faham asesor terhadap setting kelas yang digunakan guru pada saat pembelajaran berlangsung. 

Salah faham asesor tersebut terpaku kepada sebuah pakem nasional tentang apa yang selama ini barangkali masih lumrah berlangsung di sekolah-sekolah 'standar nasional' pada umumnya. Tetapi berangkat dari pakem tersebut yang kemudian mematri adanya korelasi setting kelas dengan metodologi yang digunakan guru. Meski harus diakui bahwa kejadian dan kenyataan itu justru bukti bahwa asesor dalam proses akreditasi di sekolah benar telah masuk ke dalam kelas untuk melakukan pengamatan.

Dan karena kesalahfahaman tersebut kemudian muncul kembali dalam sesi wawancara antara para asesor dengan para guru yang dikujunginya, maka saya mendengar bagaimana guru berusaha memberikan argumentasi atas metodologi yang digunakan dengan setting kelas yang dibuatnya.

"Mengapa Ibu menggunakan setting kelas berkelompok? Sedangkan pembelajaran yang ibu lakukan presentasi? Mengapa Ibu tidak merubah setting kelas dulu?" Demikian pernyataan asesor kepada guru kami.

"Begini Pak. Setting kelas kami dapat berubah sebagaimana yang Bapak dapat saksikan dalam foto yang kami tempel di dinding kelas. Jadi setting kelas bagi kami sangat fleksible. Dan mengapa kami menggunakan setting tempat duduk bekerja kelompok? Pertama, kebetulan kami kelas kecil. Dimana hanya ada 25 siswa di dalam kelas. Kedua, pekan-pekan ini kami ada dalam pekan efektif belajar. Yang mayoritas kegiatannya adalah berkelompok. Ketiga, setting kelas semacam ini yang memungkinkan anak didik kami saling berkomunikasi dalam ranah belajar. Dan ini adalah pembelajaran komunikasi, belajar sosial." Jelas guru kami dengan penuh keyakinan akan benar jalan yang telah diambilnya.

Saya senang dan kagum dengan argumentasi yang runtut tanpa jeda,  yang disampaikan kepada asesor. Percaya dirinya sungguh memberikan kepada saya keyakinan kepada masa depan lembaga kami.

Dilain pihak, saya juga memprihatinkan bahwa pilihan kata asesor ketika ingin mengetahui sesuatu justru sebenarnya tidak sedang bertanya. Menurut saya lebih tepat kalau mempertanyakan apa yang terjadi.

Seharusnya kalimat tanya yang digunakan adalah kata yang mampu menggali informasi. Seperti misalnya kata; mengapa? Dan dari jawaban guru itulah maka dia bisa melanjutkan perburuan informasi yang diinginkan sedalam dan seluas-luasnya. 

Dan jika memang informasi yang didapat tidak sesuai dengan kaidah yang seharusnya, disitulah asesor dapat masuk dengan pemahaman yang dimilikinya. 

Allahua'lam bishawab.

Jakarta, 10 Oktober 2014.

04 October 2014

Memberi 'Jalan Keluar' untuk Kebuntuan Mengajar

Beberapa hari ini saya disadarkan oleh sebuah permintaan dari guru yang karena tuntutan pembelajaran dalam Kurikulum 2013, maka saya disibukkan dengan membuka-buka buku yang telah lama dipanjang. Baik yang ada di rumah atau juga yang ada di sekolah. Dan bahkan juga tidak ketinggalan buku-buku yang ada di perpustakaan sekolah.

Satu yang menjadi tujuan saya sibuk membuka halaman-halaman buku pembelajaran tersebut adalah menemukan model dan strategi pembelajaran, yang mungkin saya dapat bagikan kepada teman-teman. Seperti yang saya lakukan dalam dua sesi pertemuan sebelum ini. Sesi-sesi tersebut adalah sesi berbagi. Dan dalam dua sesi itu saya membagikan apa yang saya dapat dari buku kepada teman-teman. 

Dan alhamdulillah, meski model atau juga strategi pembelajaran tersebut memberikan contoh untuk pemberian materi pelajaran pada mata pelajaran tertentu, saya berharap sekali agar guru-guru tersebut dapat memodifikasi apa yang saya sampaikan pada mata pelajarannya. 

Karena hanya dengan seperti itu guru-guru saya tersebut dapat menemukan keluasan ide dalam menjalankan tugas pembelajaran di kelasnya. Meski harus juga saya akui bahwa apa yang menjadi contoh tersebut, guru harus rajin dan bersungguh-sungguh dalam tahap mengembangkan.

Walau juga harus saya akui bahwa tahap pengembangkan ini bukan bagian yang mudah yang akan guru lakukan. Namun sebagaimana yang saya sampaikan pula bahwa agar teman-teman guru itu membangun komunitas ingin tahu dan tidak mudah puas diantara mereka. Inilah yang saya adopsi dari apa yang teman sebut sebagai komunitas belajar.

Sebagai sebuah usaha, saya berharap sekali agar teman-teman terus menempuh jalan komunitas tersebut. Dan tentunya tidak mudah cepat merasa puas. Semoga.

Jakarta, 4 Oktober 2014.

03 October 2014

Membuat Berita

Dua hari lalu, saya membaca berita yang dimuat secara on line di media regional, yang koran cetaknya banyak dibaca oleh teman-teman yang tinggal di kampung halaman. Dari membaca secara online tersebut, saya selalu mendapatkan berita-berita daerah dan kampung halaman dengan lebih up date. Saya senang menengok kampung halaman di media on line tersebut selain karena untuk menghibur rasa kangen saya kepada kampung halaman juga karena berita yang dimuat tidak saja berita-berita kemalangan.

Sebagaimana pekan lalu, saya menemukan artikel tentang gula merah yang gagal sertifikasi karena dari kandungannya masih terpapar zat kimia. Dengan gagalnya sertifikasi itu, maka gula merah dari kampung halaman saya tidak dapat masuk pasar Eropa. Di jelaskan dalam artikel tersebut bahwa terpaparnya kandungan gula merah diduga berasal dari semprotan pembasmi hama yang dilakukan petani disekitar pohon kelapa yang dideres. 

Itu salah satu dari berita yag bagus dan menarik untuk saya simak. Juga tentang bagaimana aktivitas anak sekolah dasar negeri di kampung yang melakukan peringatan hari kesaktian Pancasila dengan cara mengenang perjuangan Jendral A Yani, yang kebetulan adalah putra dari daerah kami.

Dan yang menarik dari berita kedua itu, yang saya baca pada dua hari lalu itu, adalah inisiasi dari teman sekolah saya ketika di bangku SPG. Dialah guru dan Kepala Sekolah yang mengajak siswanya mengunjungi patung Jendral A Yani untuk mekletakkan rangkiaian bunga sebagai bagian dari peringatan Kesatian Pancasila tersebut. Bangga nama teman saya ada di dalam koran.

"Tidak hanya di koran on line Gus. Di cetak juga. Juga tayangan di tivi Jakarta. Ada beberapa stasiun tivi yang memberitakan kegiatan sya sama anak-anak." katanya di sore harinya ketika saya menjadi kengen teman saya yang memang wartawan itu. Setelah di pagi harinya saya sebarkan link berita tersebut kepada teman-teman yang ada dalam grup.

"Aku melu seneng yo." begitu kata saya memujinya.

"Nah itu saya buat kegiatan sama anak-anak karena teman-teman pemburu berita di kampung sedang sepi." begitu lanjutnya memberikan penjelasannya. Tentu saya semakin bangga lagi. Karena dengan seperti itu, ia memang Kepala Sekolah yang sekaligus berpikiran dagang.

Ternyata, selain pandai membuat kegiatan pembelajaran kepada anak-anak didiknya, sahabat saya ini juga pandai membuat berita. Hebat dan kagum saya dibuatnya!

Jakarta, 3 Oktober 2014.

02 October 2014

Menonton Sidang Paripurna DPR RI 2014-2019

Saya terbangun karena malam hari tadi saya berangkat tidur lebih awal. Tentu menjadi hal yang kurang nyaman, ditengah malam terjaga denga tidak ada siaran langsung olah raga satu pun selain siaran langsung Sidang Paripurna DPR RI, yang dilantik pada Rabu, 1 Oktober 2014, kemarin.Jadi lumayan beruntung di malam tadi itu. Karena ada siaran langsung tivi tersebut adalah siarang yang mungkin tidak akan berulang terjadi pada setiap tahunnya. 

Sebuah sidang yang sedang akan memutuskan unsur pimpinan di DPR. Namun ketika saya sedang menonton sepertinya banyak sekali anggota yag ingin berbicara bersama-sama disaat Ketua Sidang Sementara, yang dipimpin oleh anggota yang berusia tertua dan yang termuda, sehinga dapat ditebak semacam apa suasana sidang itu.

Banyak angota DPR yang ingin langsung memberi masukan kepada pimpinan sidang. 
Selain hujan interupsi, yang memang tidak mendapat tanggapan dari pimpinan sidang, anggota DPR itu juga tidak henti-hentinya menyampaikan celetukannya yang dapat saya dengar di layar tivi ketika siaran langsung itu.

"Interupsi pimpinan sidang..."
"Ya Allah Ya Rabbi..."
"Astagfirullah..."
"Lanjut bro..."

Dan ketika sidang sudah tidak kondusif, maka pimpinan sidang mensekors sidang dengan tidak memberikan batas waktu. Maka hujan celetukan idak bisa dibendung. Begitupun ketika skors dicabut, hujan interupsi tidak bisa dicegah. Termasuk ketika wakil dari salah satu partai yang akan menyampaikan susunan pimpinan dari fraksinya, yang tetap ingin memberi ceramah.

Apa yang saya lihat dan simak di dalam siaran langsung tivi tersebut, merefleksi kepada diri saya sebagai guru di dalam kelas. Tampaknya saya harus bersama menyusun ulang class agreement sebelum saya mengajar yang lain. Membuat kesepakatan tentang apa yang harus dikomitmenkan bersama. Percuma saya membacakan cerita pendek  kepada siswa saya yang juga pintar bicara semua. 

Tapi apakah mungkin anak didik saya tidak meneladani orang-orang hebat yang ada di dala tivi itu? Allahu a'alam bi shawab.

Jakarta, 2 September 2014.