Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

31 May 2012

Kecerdasan Anak pada Tari Kreasi

Hari-hari ini, kami, para guru kembali terkesiap dengan kepintaran anak-anak didik kami yang luar biasa. Kepintaran dalam menangkap instruksi dan sekaligus menghafalkannya. Yaitu instruksi gerakan tari kontemporer, urutan gerakannya, dari awal pembuka ketika anak-anak itu masuk ke panggung hingga berakhir pada saat anak-anak itu meninggalkan panggung. Hanya butuh pertemua lebih kurang empat kali urutan gerakan telah mereka hafal. Menakjubkan!

Apa yang diperlihatkan oleh anak-anak didik kami itu sungguh sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan apa yang pernah saya alami ketika saya masih duduk di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ketika saat itu harus belajar tari Cantrik. Bahkan hingga latihan tari itu berakhir dan saya lulus sekolah, tidak pernah gerakan dari tari itu yang benar-benar menempel pada ingatan saya. Ini adalah kenyataan yang membuat saya begitu kagum dengan kecerdasan anak-anak itu.

Sekali lagi, perbandingan itu bagi saya perlu saya sampaikan karena begitu berbedanya. Mngkin juga termasuk anak saya sendiri di rumah. Hampir selalu ia mengalunkan lagu yang menjadi irama dari tari itu, yang sembari menunggu giliran kamar mandi kosong ia akan terus menerus mengulang-ulang gerakan tari tanpa lelah.

Itulah, maka ketika pertemuan ketujuh dalam latihan tari di sekolah saya, maka pelatih tari yang disewa dari sebuah sanggar akan digantikan perannya oleh guru kelas yang dengan suash payah menghafal gerakan-gerakan sedetil mungkin dengan, tentunya, tambahan bantuan untuk lebih mudah menghafal dalam bentuk rekaman vedio. Dan ketika guru melanjutkan sesi-sesi latihan  tari tersebut, maka porsi latihan sudah bukan lagi tahapan menghafal gerakan, tetapi lebih fokus kepada kekompakan dan keserasian gerakan. Karena selain gerakan yang telah anak-anak kuasai, mereka juga sekaligus telah menghafal kariografi. Ini penting agar para orangtua siswa yang anak mengambil foto nantinya tetap memperoleh momen wajah anaknya ketika anaknya berada di sisi bagian depan panggung. 

Pintar Tari, Dimana Nilai Rapotnya?

Namun bila ada diantara kita yang bertanya kepada saya tentang  apakah kepintaran tari dari anak-anak itu masuk dalam angka yang ada di dalam rapot ketika anak-anak itu naik kelas? Maka saya akan menjawab secara normatifnya adalah ada tetapi... Nah ketika saya mengucapkan kata tetapi, maka kalimat brikutnya sangat boleh jadi menjadi sesuatu yang sangat normatif.

Untuk itulah, maka saya dan teman-teman menyepakati untuk membuat visi sekolah yang meski dan tetap bahwa nilai tari anak-anak tersebut tidak secara signifikan menjadi bagian dari nilai rapot mereka, tetapi kami menghargai kepintaran itu dalam bentuk menampilkan jenis kepintaran itu dalam sebuah penampilan kolosal di sekolah di setiap akhir tahun pelajaran. Dan kesempatan itu, adalah untuk semua siswa yang ada di sekolah. Bukan kepada mereka yang memang bnar-benar pintar. Karena kami meyakini bahwa semua anak akan dapat berkembang jika ada dan diberikan kesempatan dan dorongan. 

Itulah kecerdasan  anak pada tari kreasi, yang saya lihat pada setiap hari ketika anak berlatih untuk pertunjukan kolosal di akhir tahun pelajaran 2011/2012 ini.
Jakarta, 31 Mei 2012.

29 May 2012

Bermain Futsal, Satu Fasilitas untuk Bersama

Siapa yang tidak senang permaianan ini. Setidaknya pengataman yang saya lakukan kepada siswa saya yang laki-laki, baik yang duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah, hampir sebagian besarnya menyukai permainan ini. Sebuah permainan kelompok yang tidak terlalu membutuhkan lahan yang relatif luas. Dan juga tidak harus berada di atas rumput. Cukup seluas lapangan basket. Bahkan di beberapa tempat kerena minimnya luas lapangan basket yang standar, maka lapangan minipun jadilah pemainan futsal itu di gelar.

Apa yang menjadi indikasi saya untuk mengatakan bahwa futsal itu cukup mendapat tempat di hati anak-anak, ditempat saya mengajar? Adalah ramainya jadwal bergantiannya anak-anak itu untuk menggunakan lapangan guna bermain futsal, khususnya disaat menunggu jemputan sepulang mereka sekolah? Dan karena ramainya jadwal pergantian tersebut, maka kelompok-kelompok tersebut hanya akan mendapatkan jatah bermainnya lebih kurang 15 menit atau palng lama 20an menit untuk satu kali main. Dan setelah giliran itu mereka dapatkan, maka kelompok lain dengan anggota yang berbeda telah siap menanti di pinggir lapangan. Dan karena itulah maka kami sebagai guru yang mendapat tugas piket pada saat tersebut, akan berfungsi sebagai penjaga komitmen agar kelompok-kelompok tersebut menepati sesuai kesepakatan yang dibuat. Juga kadang dan sering, jika itu giliran saya yang berjaga, maka saya akan menjadi wasit mereka.

Satu Fasilitas untuk Bersama

Kenyataan tersebut kadang membuat diantara kita ada yang berpikir, mangapa satu lapangan yang notabene adalah juga satu fasilitas digunakan secara bergantian atau bersama-sama? Bagaimana nanti asesor yang datang ke sekolah kita ketika ia akan bertindak sebagai panitia penilai untuk Akreditasi Sekolah? Apakah adanya  satu fasilitas yang digunakan secara bersama-sama atau secara bergantian tersebut bukan merupakan sebuah kekurangan?

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya akan merembet kepada keberadaan masjid sekolah yang hanya ada satu tetapi digunakan secara bersama-sama oleh komunitas sekolah yang ada. Baik dari tingkat TK hingga mungkin SMA? Juga bagaimana dengan aula atau ruang bersama yang lain? Bagaimana fasilitas-fasilitas bersama ini nanti masuk dalam sistem administrasi sekolah yang akan menghadapi akreditasi? Dan setelah dicermati kasus demikian kalau di Jakarta atau kota lain di Indonesia adalah kasusnya untuk sekolah swasta dan bukan untuk di sekolah negeri. Mengapa? Karena sekolah swasta hampir selalu dikelola dalam satu atap atau dalam satu manajerial yang sama. Karena memang unit-unit sekolah yang ada di dalam satu lokasi yang sama. Sedang di sekolah pemerintah, meski dalam satu kelurahan terdapat beberapa sekolah pemerintah, maka mereka tidak dalam satu manajemen yang sama sebagaimana yang terjadi dalam sekolah satu atap tersebut. Oleh karenanya semua fasilitas yang ada relatif diperuntukkan bagi komunitas internal mereka.

Untuk itulah, maka sering paradigma demikianlah yang dibawa oleh para asesor Akreditasi Sekolah ketika mereka datang dan mengeses sekolah seperti sekolah saya. Dan untuk itulah saya justru ingin memberikan penjelasan berkenaan dengan keuntungan dari satu fasilitas sekolah untuk kepentingan dan untuk digunakan secara bersama.

Pertama, Itu adalah bentuk efisiensi dan sekaligus efektivitas. Karena dengan banyaknya pengguna dari fasilitas yang tersedia maka berarti bahwa okupasi  ruangan-ruangan yang ada atau fasilitas-fasilitas yang tersedia menjadi tinggi. Ini sangat positif bagi sebuah fasiitas yang memang disediakan bukan untuk gaya-gayaan. Mengapa? Di beberapa tempat yang ada, saya masih melihat pesawat tv yang disediakan di sebuah sekolah di setiap ruang kelasnya. Maka pertanyaan saya adalah: seberapa sering tv-tv tersebut menyala dalam kurun waktu satu tahun? berapa uang yang berlebih jika misalnya terdapat 12 buah tv untuk kemudian dibelikan lcd proyektor dengan vedio playernya?

Cara berpikir yang demikianlah yang kadang masih sering menjadi kendala bagi pelaku pendidikan di sekolah untuk berpikir dengan frame paradigma lama sebagaimana yang saya kemukakan di atas.

Kedua, keberadaan fasilitas bersama tersebut justru menjadi wahana bagi komunitas penggunanya untuk mempraktekkan budaya hidup bersama. Dimana dalam situasi yang demikian sering menuntut para penghuninya untuk menjadi bertambah dewasa ketika harus menggunakan fasilitas yang ada. Dan ini adalah bentuk langsung dari pembelaaran karakter tidak saja bagi para siswa yang mengunakan fasilitas tersebut, tetapi juga para guru-guru dari anak-anak tersebut, bahkan juga termasuk para kepala sekolahnya.

Dalam hal wahana belajar inilah yang sering tidak menjadi bagian penting bagi kita pada umumnya. Paling sering bila berhadapan dengan satu fasilitas  untuk keperluan bersama ini, adalah sebagai kendala dan sebagai hambatan.

Itulah dua hal yang saya dapatkan dari perenungan ketika saya harus berada di halaman sekolah menemani anak-anak bermain futsal secara bergantian.

Jakarta, 29 Mei 2012.

25 May 2012

Pelajaran yang Terlalu Berat

Tidak seua tempat atau sekolah, dan juga tidak semua staf pendidikan yang berpikir fleksibel. Kisah ini merupakan kisah khas yang berkaitan dengan hal-hal dari siswa. Misalnya, adanya permohonan dari pihak orangtua siswa dan siswa itu sendiri yang meminta memperpanjang hari liburnya. Ini mengingat si anak ada di sekolah dan di Indonesia dalam keluarga wali. Sedang orangtua dan saudaranya berada di nun jauh di seberang lautan Pasifik. Untuk itu akan begitu singkatnya bila ia harus kembali ke sekolah setelah berlibur bertemu keluarganya untuk waktu tiga pekan. Bukankah nantinya tidak efisien bila waktu tiga pekan itu dikonversi dengan harga tiket pergi-pulangnya?

Maka untuk pertimbangan itulah, di sela pelaksanaan Ujian Nasional yang lalu, kami berkumpul untuk sekedar mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat kami ambil sebagai pilihan jalan keluar dari permohonan tambahan izin tersebut. Dimana kemungkinan pilihan tersebut nantinya akan kami komunikasikan kepada keluarga wali dimana anak murid kami ini berada.

Dan sebagaimana judul cerita ini, maka kamipun segera menyepakati pilihan-pilihan yang mudah-mudahan menyenangkan si anak didik kami,  yang masih duduk di bangku kelas tujuh, akan pulang ke tempat dimana ayah dan ibundanya berada setelah selama satu tahun ia berada di rantau. 

Terlalu Berat

Dan siang itu, setelah kami menyelesaikan kegiatan bersama di ruang serba guna seolah, saya bertemu langsung dengan anak tersebut untuk kemudian berbincang tentang rencana perjalanan 'pulangnya'. Disampaikan bahwa ia sangat menanti tanggal dimana ia harus berangkat ke bandara. Juga tentang kapan kembalinya ia ke Indonesia untuk kemudian masuk di kelas berikutnya di tahun pelajaran baru nanti. Namun saya menangkap keraguan yang amat sangat akan komitmen dia untuk dapat kembali lagi ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya.
  • Saya belum tahu kapan akan kembali ke Indonesia. Atau apakah saya mungkin tidak akan kembali ke Indonesia. Katanya ketika menjawab pertanyaan saya. Padahal pada pertemuan sebelumnya, ia berencana kembali ke Indonesia setelah Idul Fitri, dan akan masuk kembali ke sekolah Senin di awal bulan September, di kelas yang baru. Tetapi sepertinya ia telah lupa akan apa yang pernah disampaikannya kepada saya. Oleh karenanya saya mencoba untuk bertanya lebih anjut tentang apa yang ada direncananya selanjutnya.
  • Mengapa ragu untuk menyebutkan kapan akan kembali ke sekolah? Tanya saya berikutnya.
  • Karena saya ragu apakah akan tetap tinggal di Indonesia atau akan tetap bersama orangtua saya. Jelasnya.
  • Apa yang paling membuat kamu ragu untuk kembali ke Indonesia? Selidik saya. Saya ingin memastikan dan sekaligus berharap kalau masalah pertemanan bukan bagian masalah yang membuatnya ragu kembali ke Indonesia. Karena jika ini yang terjadi, pikir saya, berarti praktek bullying barangkali masih terjadi.
  • Pelajaran di sini berat sekali. Semua berat kecuali Bahasa Inggris. Jelasnya.
Meski saya bersyukur bahwa pertimbangannya untuk kemungkinan tidak kembali ke Indonesia bukan karena masalah dengan pergaulannya di kelas dan di sekolah, namun saya menjadi berpikir; bagaimana mungin pelajaran di sekolah ia nilai lebih berat dibanding dengan apa yang dialaminya ketika sekolah di negerinya? Bukankah 'hasil' dari pendidikan kita, dalam bentuk kualitas SDM jauh berada di bawah? Apakah tidak ada orang pintar di negeri tercinta ini yang mengetahu fakta semacam ini untuk kemudian membuat proses pendidikan kita yang menghailkan SDM yang tidak kalah dengan negeri dimana kedua orangtua anak didik saya ini tinggal?

Jakarta, 25 Mei 2012.

24 May 2012

Jahitan Operasi Jantung

Satu pelajaran lagi saya dapatkan siang itu pada saat kami, para guru di sekolah,  selesai menemani anak-anak menunaikan kewajibanya. Dimana kala itu saya berdiri persis disamping seorang siswa kami yang berbadan sedikit agak besar dari ukuran normalnya. Karena posisi kami yang berdekatan itulah maka saya mendengar bagaimana anak didik saya itu seperti kerepotan untuk mengatur pernapasannya. Megap-megap, kata orang Jawa. Atau nampak seperti tersengal-sengal.  Saya yakin sekali bahwa anak itu tidak merasa nyaman. Dan unuk alasan itulah maka mencoba untuk mengetahuinya mengapa dia begitu berat bernafas?
  • Saya punya penyakit jantung Pak. Jawab dia memberikan penjelasan kepada saya. Jawaban yag saya sendiri tidak menyangka. Karena usia anak itu belum lagi empat belas tahun. Maka bagaimana bisa anak sekecil itu menderita sakit yang tidak semua orang mengalaminya?
Lalu meluncurlah cerita dia tetang penyakit yang dideritanya sejak lahir itu. Bahwa ada kelaianan pada klep jantungnya yang mengharuskannya untuk dilakukan operasi disaat anak itu berusia satu tahun.  Dan dia tunjukkan bagaimana pisau operasi yang tajam itu membelah dadanya yang masih meninggalkan jejak di sana. Saya dan teman-teman di kelasnya terperanggah. 

Saya katakan kepada anak didik saya itu untuk mensyukuri apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Sebuah anugerah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Tentu ini bagi dirinya sendiri atau juga bagi orangtuanya yang sangat mencintainya. Juga bagi keluarganya.

Dan satu-satu dari kami yang berada di sekitar anak itu mencoba memberikan masukan dan sekaligus mengambil pelajaran. Karena ada diantara kami yang memiliki berat badan yang tidak lagi seimbang dan normal. Pastinya kelebihan.
  • Jangan banyak makan korbohidrat. Kata seorang anak yang duduk sedikit berjarak dengan kami. Atau paling tidak kontrol makan karbohidrat itu dengan menggantinya nasi merah. Lanjutnya dengan penuh keyakinan.
  • Jangan makan gorengan. Kata yang lain lagi. Juga dengan penuh sugesti yakinnya.
  • Jangan lupa untu selalu dan terus menerus berolah raga. Kata yang lain lagi, yang memang jagonya bermain futsal di sekolah.
Pendek kata, semua menyampaikan hal yang positif. Saya bersyukur bahwa apa yang saya alami siang itu membuat saya melahirkan pertanyaan kepada sang anak tersebut untuk kemudian memunculkan diskusi tentang kesehatan. Dan paling tidak, saya dan anak-anak yang ada di dekat anak itu sama-sama mengambil hikmah  tentang bagaimana nanti ke depan dalam memelihara kesehatan badan dengan berdiskusi tentang makan makanan sehat.

Sebuah diskusi yang mengantarkan saya akan kesadaran untuk berkomitmen menjadi kesehatan dengan mengkonsumsi makanan yang baik untuk badan. Diskusi yang juga mengantarkan ingatan saya kepada buku yang ditulis oleh Dokter Tan yang berjudul Saya Pilih Sehat dan Sembuh,  yang hingga sekarang masih dipinjam oleh teman sekantor saya. Dan selain bukunya, saya sendiri sudah lebih kurang satu pekan ini relatif membebaskan diri dalam hal makanan. Itulah sebabnya hingga berat badan saya sendiri bertambah dari biasanya. Itu semua karena saya berkesempatan untuk bertemu siswa saya yang hebat, yang mempeliahtkan kepada kai bagaimana dadanya yang bekas jahitan opersi jantung.

Jakarta, 24 Mei 2012.

Berhenti Bermain Bola

Cerita saya ini bukan tentang pemain yang jarena usia maka harus menggantu sepatu, berhenti bermain bola, terutama sepak bola, sebagaimana berita-berita dari para pemain sepak bola profesional. Cerita saya masih sekitar anak-anak murid saya di sekolah yang harus dengan terpaksa saya hentikan untuk bermain bola, kadang futsal dan kadang basket karena hari memang benar-benar sudah malam! Meski jam waktu itu masih menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Namun untuk ukuran siswa sekolahan yang masuk sekolahnya pukul tujuh pagi, maka keberadaan mereka di sekolah sudah duabelas jam.

Juga karena para supir anak-anak itu yang dibuatnya  tidak berkutik, sehingga harus menunggu hingga majikan kecilnya tuntas dan dengan sukarela mau masuk mobil untuk kemudian pulang. Juga para anggota satuan pengaman sekolah yang hanya mampu menghimbau agar pemainan dihentikan karena guru ekskul mereka malah lebih dulu meninggalkan sekolah, namun mereka tetap bertahan melakukan dribble bola basket.

Alhasil, saya siasat tradisional dilakukan para anggota satuan pengamanan tersebut dengan cara tidak menyalakan lampu yang akan membuat lapangan serbaguna di depan bangunan sekolah itu menjadi terang benderang. Dengan maksud tentunya agar 'perkumpulan' anak-anak tersebut bubar dan berhenti bermain bola.

Begitu sulitkah anak-anak itu untuk segera meninggalkan sekolah atau setidaknya permainan yang dilakukannya begitu waktu magrib menjelang? Kenyataannya memang begitu. Anak-anak itu tetap bertahan bermain bola. Hingga ketika supir mereka telah menerima telepon dari para orangtuanya agar segera menjemputnya di kantor. Maka anak-anak itu segera bergegas meninggalkan sekolah. Memang mereka akan berhenti total bermein bola manakala kumandang azan berbunyi. Namun bola akan kembali dimainkan persis ketika azan telah usai dikumandangkan.

Seperti sore kemarin. Saya terpaksa memarkir kendaraan saya persis di depan gawang. Dan sekaligus meminta anak-anak itu untuk pulang dan istirahat agar eoknya mereka kebali dapat bermain bola dengan lebih puas lagi. Memang ada nada protes dari mereka, namun saya katakan bahwa pemain profesional selalu disiplin dalam menepati jadwal latihan. Tidak kurang dan juga tidak akan kelebihan. Dan alhamdulillah, mereka satu-satu meninggalkan sekolah dan menuju kendaraan yang telah siap menjemput mereka satu-satu.

 Pertanyaan saya berikutnya adalah; mengapa mengapa begitu sulitnya untuk meninggalkan sekolah, meninggalkan permainannya bersama teman-temannya, berpisah dengan teman-teman yang ada di sekolah? Saya tidak tahu jawaban pastinya, namun saya hanya mendengar salah seorang dari mereka bahwa kalau sudah sampai di rumah maka mereka hanya akan masuk ke ruang mereka masing-masing dan asik dengan alat permaiannya masing-masing.

Apakah rumah dan interaksi di dalamnya tidak membuat kalian rindu dan ingin segera cepat sampai di rumah? Tanya saya suatu kali. Mereka menjawab; tidak ada yang merindukan kami di rumah Pak. Maka kamipun tidak merindukannya...

Allahua'lam bishawab...

Jakarta, 24 Mei 2012.

17 May 2012

Sepakat Berkaos Futsal

Ini kisah yang dalam pandangan saya luar biasa cerdas. Ini bukan di permainan futsalnya itu sendiri. Tetapi justru pada saat bermain futsal setelah pulang sekolah. Ya. Saya bersyukur bahwa siang itu saya menemukan anekdot ini. Sebuah peristiwa yang kebetulan terjadi pada saat menunaikan tugas untuk mengawas anak-anak sepulang jam sekolah. Sebuah kewajiban yang selalu kami lakukan secara bergantian, yang kami sendiri menyebutnya sebagai duty atau piket.

Tidak ada Ekskul

Pekan-pekan pada saat saya berjaga sebagai petugas piket di lapangan sekolah itu, merupakan hari-hari dimana kegiatan ekstra kurikuler telah berakhir. Kecuali kegiatan-kegiatan yang berkait dengan pementasan akhir tahun saja. Dan itu akan berkait dengan kegiatan drama dan pertunjukan seni. Oleh karenanya, saya bertanya kepada salah satu dari anak yang berada di pinggir lapangan. Mengapa anak-anak memakai pakaian seragam futsal sebagaimana pakaian yang digunakan pada saat anak-anak itu akan bertanding futsal atau pada saat mereka sedang ada kegiatan ekstra kurikuler futsal yang harinya kebetulan sama dengan hari dimana saya menjadi petugas piket? Sebuah pertanyaan yang panjang. Namun anak yang saya tanya kebetulan pas dengan apa yang diketahuinya. Karena kebetulan sekali ia adalah bagian dari anak-anak yang mengenakan seragam futsal sore itu.

  • Bukankah ekskul sudah tidak ada? Mengapa kalian mengenakan pakaian ekskul? Tanya saya di pinggir lapangan setelah sadar bahwa semua yang mengenakan seragam ekskul siang itu adalah kelas lima SD.
  • Betul Pak. Ekskul memang sudah tidak ada. Tapi kemarin kami semua sepakat untuk berkaos futsal. Semuanya Pak. Jawab anak itu. Jawaban yang justru menarik perhatian saya untuk terus bertanya kembali kepadanya.
  • Mengapa sekapat berkaos futsal? Selidik saya.
  • Karena biar kita  dapat bermain futsal tanpa diganggu anak SMP Pak. Deg. Saya kaget sekaligus kagum dengan apa disampaikan kepada saya. Terus terang, saya menjadi  tersadar sejauh mana kepintaran anak-anak itu, bahkan untuk sekedar mendapat jatah bermain futsal di lapangan sekolah yang menjadi tempat bermain bersama. Cerdas, prediktif,  sekaligus analitis.
Apa yang telah dilakukan anak-anak tersebut adalah bukti nyata bahwa mereka memiliki potensi yang luar biasa. Karena selain ide, mereka juga memiliki komitmen untuk mewujudkannya dalam bentukkesepakatan dan aksi, serta tentunya solidaritas. Tanpa disadari, mereka sesungguhnya sedang memainkan drama politik tingkat tinggi. Dan sekali lagi, saya benar-benar mensyukuri temuan kejadian tersebut.

Jakarta, 17 Mei 2012.

09 May 2012

UN SD 2012 #4

Ujian Nasional untuk tingkat pendidikan Sekolah Dasar hari ini, Rabu, 09 Mei 2012 adalah hari terakhir. Dan menurut anak-anak didik kami seusai ketika kmai minta laporan pandangan mata terhadap soal yang dikerjakannya, mengaku cukup mampu mengerjakan. Pernyataan semacam itu untuk ketiga kalinya mereka lontarkan. Yaitu saat menyelesaikan soal Bahasa Indonesia di hari pertama dan soal Matematika di hari kedua, seorang anak didik saya tersebt konsisten memberikan jawaban; Alhamdulillah Pak bisa mengerjakan.  Tentu, karena pertanyaan saya adalah: Bagaimana soal UN tadi?

Guru Merokok dan Membuka Pintu Ruang Ujian

Lain cerita anak didik, lain pula cerita yang disampaikan oleh teman-teman kami yang pada pelaksanaan Ujian Nasional kali ini mereka mendapat tugas sebagai Pengawas UN di sekolah lain. Karena dari kegiatan tersebut, kami dapat mengetahui bagaimana sekolah-sekolah lain dalam menyikapi peraturan-peraturan dalam pelaksanaan UN di sekolah yang mereka awasi tersebut. Baik teman-teman yang mengawas di tingkat pendidikan SMP atau di tingkat SD. Beberapa yang unik dan dalam pandangan kami tergoong pengalaman aneh, menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan.

Seperti bagaimana teman-teman guru pengawas yang mengawas di sebuah SD, mengaku berempati ketika ada peraturan tambahan yang diterbitkan oleh Kasi Kurikulum dan Sistem Penilaian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta, yang diterima oleh para Kepala Sekolah saat mengambil dokumen soal UN, yang melarang para pengawas membagikan kertas buram,  yang akan dipergunakan sebagai kertas corat-coret saat mengerjakan soal UN pada  hari kedua, dan mengharuskan peserta UN untuk menghitung dan corat-coret langsung  di kertas soal Matematika. Kontan, para pengawas secara serempak menyepakati akan tetap memberikan kertas yang akan dipergunakan sebagai sarana menghitung peserta UN dengan bersama-sama meyakini bahwa tidak ada sesuatu yang disembunyikan dalam kertas kosong yang mereka bagikan.Dan apa yag mereka lakukan sebagai empati atas apa yang semestinya anak-anak dapatkan. "Jangan mentang-mentang pelaksanaan UN SD jadwalnya paling akhir, karena sesudah pelaksanaan UN SMA dan SMP yang mungkin menimbulkan sesuatu ketika peserta dibagikan kertas buram sebagai sarana menghitung, maka peserta UN SD yang menjadi korban". Demikian kata seorang pengawas itu.

Lain lagi dengan teman saya yang di tahun ini mengawas di sebuah SMP. Dia menemukan sebuah budaya yang sangat kontradiktif dengan apa yang terjadi di sekolahnya selama ini. Ini terjadi ketika hari pertama UN, ketika dia disambut oleh seseorang yang mengajaknya minum kopi dulu di sebuah ruangan guru di gedung sekolah itu, dan mendapati bahwa Bapak-Bapak guru yang terdapat disitu sedang menghirap rokok selain menyanding gorengan dan segelas kopi. Kaget dan syoknya, karena selain tidak sesuai Perda yang ada, juga bertolak belakang dengan kebiasaan yang seharusnya ada di sebuah lembaga yang bernama sekolah. Temuannya ini, segera menjadi bahan diskusi kami ketika kami semua berkumpul di sekolah untuk saling tukar pengalaman selama menjadi pengawas Ujian Nasional. Dan tampaknya, apa yang dialamai oleh teman tersebut mendapat konfirmasi dari teman yang lain yang kebetulan juga pernah menjadi pengawas UN di sekolah yang bersangkutan. Sebuah dan salah satu bentuk kehidupan nyata tentang bagaimana operasionalisasi dunia pendidikan formal kita.

Sedang pengalaman teman yang satu lagi kami mungkin salah satu bentuk yang unik yang lain lagi berkenaan dengan pelaksanaan UN itu. Bahwa pada pukul 07.30 pada saat pelaksanaan UN, maka Ketua Panitia UN di sekolah dimana teman kami menjadi pengawasnya, dengan disaksikan oleh anggota panitia yang lain, di ruang pengawas atau ruang panitia UN, menyerahkan anak kunci dari pintu ruang UN. Kok kunci pintu Bu? Tanya teman saya. Jadi kami yang harus membuka pintu ruang UNnya Bu? Lanjut teman saya masih belum faham. Benar Bu. Memang begitulah aturan dalam UN. Jawab Ibu Kepala Sekolah yang juga adalah Ketua Pelaksanaan UN di sekolahnya itu.

Dari cerita-cerita teman yang kebetulan bertugas sebagai Pengawas UN tersebut, kami semua dapat mengambil pelajaran bahwa bentuk operasional UN, meski pemerintah telah menerbitkan Juklak atau Juknisnya, selalu terdapat deviasi pada tataran operasionalnya. Dan deviasi itu menyesuasikan kondisi sosio emosi yang ada di lingkungan tersebut. Dan meski demikian, saya sebagai pendengarnya, tetap merasakan adanya sesuatu yang berbeda dalam memaknai deviasi itu. Sebuah deviasi yang tidak dan bukan pada ranah kejujuran  dan atau ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN itu sendiri, tetapi pada gradasi kesakralannya. 

Jakarta, 09 Mei 2012.

08 May 2012

UN SD 2012 #3)

Ujian Nasional sebagai akhir dari rangkaian proses pendidikan di jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, dan sederajatnya, merupakan hajat bangsa. Karena dari sanalah sesungguhnya kita dapat melihat seperti apa kualitas pendidikan kita. Dan karena takaran yang maha penting inilahmaka jauh sebelum pelaksanaan Ujian Nasional berlangsung, beberapa daerah, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, mencanangkan target keberhasilan. Namun dari kaca mata saya, target keberhasilan tersebut sama sekali tidak menghunjam kepada program persiapan yang terjadi di dalam kelas di wilayah unit pendidikan yang ada. Akhirnya target yang telah dicanangkan di tingkat yang tinggi tersebut sulit jika ingin kita korelasikan dengan bekerja keras di lapangan, tidak akan, atau sulit untuk menemukan benang merahnya.

Kenyataan seperti itu dimungkinkan, masih berangkat dari kaca mata saya sebagai guru di lembaga pendidikan swasta, terjadi akibat sulitnya para punggawa dunia pendidikan nasional kita yang berpikir pada tingkat operasional. Pada tataran pelaksanaan. Pada apa yang sesungguhnya terjadi di dalam interaksi guru dan siswa di dalam kelas. Sebagaimana apa yang saya alami pada pelaksanaan UN SD tahun 2012 ini, yaitu adanya form Fakta Integritas yang harus menjadi bagian dari administrasi pelaksanaan UN.

Fakta Integritas
Seperti juga kemarin, pagi hari di ruang panitia UN SD, hari kedua ini seorang panitia menyodorkan lembaran form yang dapat di download di simdik.info, yang bernama form Fakta Integritas. Form fakta integritas setiap pagi menjelang UN berlangsung harus diisi dan ditandatangani oleh para pegawas UN. Jadi karena untuk jenjang pendidikan sekolah dasar terdapat tiga mata pelajaran yang diuji nasionalkan, maka akan ada tiga Fakta Integritas untuk setiap pengawas yang ada, yang akan menjadi arsip pelaksanaan UN. Ini adalah bentuk baru dalam pelaksanaan UN. Sesuatu yang bagus. Namun pertanyaan saya adalah: Apakah fakta integritas yang hjarus diisi oleh pengawas UN setiap pagi sebelum pelaksanaan UN tersebut lahir dari sebuah analisa bahwa pengawaslah yang selama ini tidak memiliki integritas?

Dalam pendapat saya, justru yang harus mengisi form Fakta Integritas atau apalah namanya yang merupakan komitmen untuk pelaksanaan Ujian Nasional yang jujur tersebut justru para panitia atau setiap orang yang terlibat sebagai penanggung jawab UN dan hasilnya? Dan jika ini yang menjadi dasar argumentasi, bukankah para pengawas ujian tersebut hanya bertanggung jawab kepada kelancaran dan keamanan atas pelaksanaan Ujian Nasional tanpa berkait kepada hasil UN dari anak-anak yang diawasinya?
Dan jika itu yang mendasar berpikirnya, maka sudah seharusnya yang wajib menandatangani Fakta Integritas adalah para pemangku jabatan yang sekaligus penanggung jawab atas kualitas pendidikan di tingkat yang paling tinggi di sebuah wilayah hingga pada tingkat yang paling rendah di sebuah unit atau lembaga pendidikan. Merekalah yang seharusnya berkomitmen atas terealisasinya Ujian Nasional yang bersih, jujur, dan berkualitas. Karena pada pndak merekalah pelaksanaan UN yang bersih, jujur, dan berkualitas itu sejak saat perencanaan hingga keluarnya hasil UN. Bukan kepada pengawas UN yang hanya bertanggung jawab atas pelaksanaan UN.

Itulah hal yang sesungguhnya tidak besar, tetapi menjadi penting saya catat dalam artikel ini karena  darinya, kita melihat adanya ketidakcermatan  pemangku kebijakan dalam melihat data, fakta, dan mungkin juga fenomena yang terjadi di lapangan untuk kemudian menjadi sebuah kesimpulan. Sebuah asumsi dan kemungkinan yang semoga tidak benar.

Jakarta, 08 Mei 2012.

Bullying itu Apa Pak?; Interviu Guru Baru #1

Pagi hari itu, saya mendapat tugas bersama teman untuk melakukan interviu guru baru di sekolah. Semua tentu sarjana. Dua adalah Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris dari sebuah perguruan tinggi negeri yang ada di Banten dan satunya lagi adalah lulusan S1 Bahasa Inggris dari sebuah perguruan tinggi swasta di Sumatera. Sedang satunya adalah lulusan perguruan keagamaan. Ketiganya melamar untuk menggantikan guru Bahasa Inggris kami di sekolah yang mengajukan pengunduran diri di akhir bulan  Juni nanti.

Dan tambahan data lagi, bahwa ketiganya adalah para lulusan dengan nilai Indeks Prestasi tidak kurang dari 3! Hebat bukan? Setidaknya ketiganya adalah para pelamar yang telah lolos dari sisi administrasi yang  dilakukan di bagian SDM kami. Itu juga yang pertama saya lihat dari surat lamaran dan CV masing-masing mereka, sebelum proses interviu kami lakukan, terlebih dulu saya melihat profil para kandidat itu sebagai pendahuluan agar saya cukup mendapat  gambaran.

Apakah Nilai Terlihat dari Cara Berpikir?

Biasanya, saya sendiri ketika mengadakan interviu, seluruh kandidat akan saya ajak untuk berdiskusi. Mungkin semacam panel. Dan dari kegiatan panel tersebut saya akan mencoba untuk menemukan bagaimana para kandidat tersebut bekomunikasi. Karena, menurut apa yang saya alami, dalam komnikasi yang mereka lakukan saat panel tersebut, saya dapat melihat bagaimana pola pikir dan tata krama, serta kedalaman pegetahuan dari masing kandidat. Tetapi pada sesi interviu pagi itu, saya mengikuti apa yang teman mau. Jadi kandidat tersebut kita panggil secara bergilir. Kita ajak diskusi tentang suatu hal dalam masalah pendidikan. Termasuk juga pertanyaan saya tentang bullying kepada mereka.

Dari beberapa kandidat tersebut, saya sendiri mengau kepada teman bahwa tidak ada yang dapat kita banggakan dari mereka. Ini fakta yang saya dapat dari penggalian kami selama bejalannya interviu. Kedalaman pengetahuan pendidikan tidak kami temukan,  pengetahuan pedagogis juga masih dangkal, bahkan kompetensi berbahasa yang menjadi core subject mereka saat kuliah pun juga pas-pasan. Alhasil, saya tidak merekomendasian ketiganya. Dan yang lebih parah adalah pertanyaan baik mereka tentang apa yang kami minta pendapat mereka: Bullying itu apa ya Pak?

Dari kenyataan itu, saya bercerita kepada anak sulung di rumah tentang bagaimana nilai akademik yang tinggi, yang mungkin dapat kita masukkan dalam kategori pintar itu,   ternyata tidak berimplikasi kepada cara pikir,  keluasan pengetahuan serta kompetensi para kandidat guru  yang sarjana itu. Tujuan saya bercerita kepada anak agar anak mengambil pelajaran dari kenyataan atau realitas yang saya temui itu.

Namun saya berharap bahwa apa yang saya temui dalam interviu di pagi itu hanyalah ketidakberuntungan kami dalam mendapatkan para pelamar yang mengajukan surat lamaran. Kami masih berpikir bahwa anekdot itu bukan merupakan realitas yang ada di masyarakat pendidikan kita. Semoga.

Jakarta, 07-08  Mei 2012.

07 May 2012

UN SD 2012 #2)

Hari pertama Ujian Nasional tingkat pendidikan di sekolah dasar, yang mengujikan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia  telah berlalu. Ada satu catatan penting sekali berkenaan dengan pelaksanaan Ujian Nasional hari pertama itu, khususnya untuk saya sendiri.

Mungkin karena saya kebetulan selain guru, adalah juga orangtua dari anak-anak saya yang telah beranjak dewasa. Atau mungkin karena cara pandang saya dengan anak-anak saya yang aneh atau setidaknya tidak sama dengan para Ibu-Ibu yang pagi ini. Atau mungkin karena apa yang ibu-ibu lakukan terlihat heboh dalam memberikan dukungan kepada para anandanya,  yang saya saksikan justru yang aneh? Tapi ada baiknya jika pengalaman hari pertama Ujian Nasional ini saya catat sebagai kenangan saya.

Catatan itu berkenaan dengan kekhawatiran beberapa orangtua siswa, khususnya ibu-ibu, pada saat mengantar sang buah hati menuju gerbang sekolah, menunggui ananda yang sedang  mengerjakan soal ujiannya hingga selesai dengan berkumpul di halaman parkir sekolah. Atau mungkin saya salah mengasumsikan fenomena ini? Mungkin bukan khawatir yang dipertunjukkan mereka kepada kita semua ketika pagi-pagi para ibu-ibu orangtua siswa mengantar anak-anaknya hingga ke gerbang sekolah itu. Dan di sana, para ibu-ibu itu menempati kursi yang biasa untuk tempat menunggu Satpam.

Lalu apa jika fenomena itu jika bukan menifestasi kekhawatiran para orangtua ketika mengantarkan para buah hatinya untuk memasuki ruang ujian? Barangkali, itu adalah bentuk perhatian dan sokongan moril para ibu untuk suksesnya para anak-anaknya. Bukankah ini juga merupakan asumsi yang juga mungkin untuk benar? Pendek kata, karena Ujian Nasional adalah pintu gerbang bagi seorang siswa di sekolah formal untuk loos dan mendapatkan sertifikat, yang dengannya memungkinkan seseorang dapat atau tidak meneruskan pendidikannya di bangku sekolah negeri pada tahun berikutnya, maka lumrah bukan jika para orangtua menjadi begitu penuh perhatian kepada anandanya?

Saya dan Mereka

Dan fenomena inilah yang membuat saya dengan mereka, para ibu-ibu yang penuh perhatian itu berbeda. Pada sisi ini saya merasakan betapa saya mengabaikan usaha keras anak-anak saya ketika mereka menghadapi Ujian Nsionalnya masing-masing, tanpa saya atau istri saya mendampinginya hingga anak-anak saya itu sampai di halaman sekolahnya untuk mengerjakan soal-soal ujian. Dan ketika menengok kekeliruan saya itu, saya menjadi bertambah bersalah. Namun mengapa anak-anak saya sejak dulu hingga sekarang tidak pernah sama sekali mengajukan keberatan atau semacam protes kepada saya atas ketidakterlayaninya? Atau atas perlakuan saya yang biasa-biasa saja itu?

Karena saya berpikir ketika sebelum pelaksanaan ujian, saya merasa sudah memberikan sokongan kepada anak-anak saya dengan mengajaknya berdiskusi tentang apa dan dimana hal yang masih menjadi kesulitan bagi mereka. Kadang diskusi itu hanya bersifat bagaimana sulitnya soal-soal latihan ujian yang mereka hadapi. Atau diskusi bagaimana menemukan soal-soal yang benar-benar dapat membantu kesiapan ujian mereka. Atau kadang saya menemani mereka melakukan self assessment terhadap kisi-kisi atau Standar Kelulusan atau SKL yang biasanya juga di muat dalam buku=buku latihan ujian nasional.

Lalu bagaimana dengan dia yang penuh perhatian sebagaimana yang mereka perlihatkan pada pagi ini di halaman parkir sekolah? Saya berpikir mereka jauh lebih mempersiapkan putra-putrinya untuk benar-benar sukses dalam Ujian Nasional ini dengan, tentunya, memperoleh hasil UN yang maksimal. Semoga. Amin.

Jakarta, 07 Mei 2012.

06 May 2012

Quality Time

Untuk kesekian kalinya saya ditegur oleh anak saya, karena tidak memberikan kontak mata kepadanya saat mendengarkan cerita seru yang sedang menimpanya di sekolah, berkenaan dengan pakaian seragam tari Saman, yang menjadi tanggungjawabnya. Tidak itu saja, bahwa diapun mengancam untuk tidak melanjutkan ceritanya karena itu. Maka saya berhenti melihat layar TV yang sedang menayangkan siaran langsung liga sepak bola. Namun lagi-lagi, teguran itu disampaikan lagi manakala perhatian saya tidak fokus lagi. Yaitu ketika saya harus membuka HP yang tiba-tiba memberi kabar kepada saya akan adanya pesan yang masuk. Alhasil, HP saya tutup dan letakkan. Kembali kepada fokus utama saya untuk menyimak cerita atau persisnya curhatan anak bontot saya.

***
Pengalaman  itu mebawa ingatan saya kepada satu buku yang baru saja saya baca; The 5 Love Languanges of Children. Apa saja lima bahasa cinta anak itu? Dalam buku yang ditulis oleh Gary Chapman dan Ross Campbell ini menjelaskan: Satu; Physical touch. Dua; words of affirmation. Tiga; Quality time. Empat; Gift. Dan yang terakhir, lima; Acts of service. Dan pada bagian quality time tersebut saya membaca kisah nyata yang disampaikan yaitu; kisah seorang boicah yang bernama Ella, yang berusia empat tahun. Dimana Ella mendesak sang Ibu untuk dapat bermain bersamanya. Sementara sang Ibu sedang menyelesaikan tugas yang harus dikerjakannya. Oleh karenanya sang Ibu meminta waktu agar menyelesaikan tugasnya itu sebelum menemani Ella bermain. Sang Ibu meminta Ella untuk bermain sendiri dan nanti dirinya akan datang begitu tugasnya selesai. Namun beberapa menit kemudian Ella datang ke Ibunya dan Ibunya belum menyelasikan tugasnya. Sang Ibu memintanya untuk bermain sendiri lagi. Dan berjanji untuk menemaninya nanti. Dan lima menit kemudian, Ella kembali menemui Ibunya untuk mengajak bermain. Dan dari kisah itu, penulis buku mengajak kita untuk mengambil pelajaran. Bahwa anak membutuhkan quality time. Namun kadang kita akan memberikannya ketika kita sendiri telah merasa bebas tugas. Sementara pada waktu yang bersamaan, anak kita tidak lagi membutuhkan kita?

Ingatan saya kepada kisah Ella dan Ibunya itu yang akhirnya memberikan dorongan kepada saya untuk secara total menyimak apa yang akan disampaikan anak saya kepada saya. Total, karena saya benar-benar memberikan waktu saya saat itu hanya untuk mendengar apa cerita anak. Saya melihat bagaimana ekspresi kesal dan sebel anak ketika menyampaikan cerita itu. Sekali dua kali saya juga mengirek informasi yang saya ingin tahu lebih lanjut dari cerita yang disampaikannya. Dan peristiwa malam itu membuat saya bertambah ilmu pada saat melakukan menyimak lawan bicara.

Satu hal yang mungkin sering saya lakukan ketika ada teman guru atau siswa atau mungkin siapa saja yang mencoba berkomunikasi dengan saya pada saat saya mungkin sedang melakukan sesuatu yang saya sendiri merasa tanggung untuk meninggalkannya. Namun dari sekilas kisah itu, saya mudah-mudahan selalu diberikan komitmen untuk dapat memberikan waktu saya secara total kepada lawan bicara.

Saya juga termotivasi dengan apa yang disampaikan oleh teman pada akhir pekan lalu dalam sebuah pertemuan untuk benar-benar memberikan perhatian dalam berkomunikasi yang baik. Yang dalam bahasa agama, menurut apa yang disampaikan teman itu, sebagai fiqud dakwah. Semoga.

Jakarta, 06 Mei 2012.

Cerita Mutasi Guru

Saya mendapat cerita guru-guru di sebuah sekolah negeri di Jakarta yang akan dimutasikan karena alasan tidak tercukupinya jumlah minimal jam mengajar. Ini merupakan implikasi dari akan turunnya tunjangan sertifikasi yang hanya akan diterima guru-guru tersertifikasi sebagai guru profesional, yang memenuhi syarat minimal mengajar 24 jam pelajaran per pekan. Dan ketika saya melihat jadwal pelajaran yang ada di sekolah tersebut ternyata sekolah yang memiliki jumlah romobongan belajar sebanyak 15 kelas tersebut memiliki guru sebanyak 47 guru dengan 3 wakil kepala sekolah dan seorang kepala sekolah.

Sebagai orang yang mendapat amanah mengelola sekolah, saya menjadi terkaget dengan data yang terdapat dalam Jadwal Pelajaran tersebut. Apakah begitu bodohnya para pemangku kebijakan yang ada di wilayah itu sehingga untuk menghitung kebutuhan guru di sebuah sekolah sesuai dengan peraturan yang ada?  Mengapa demikian? Karena jika yang menjadi patokan adalah jumlah minimal jam mengajar seorang guru adalah 24 jam pelajaran per pekan, bukankah untuk sekolah yang ada 15 rombongan belajar dengan jumlah jam pelajaran di setiap kelasnya 42 jam pelajaran setiap pekannya, maka sekolah itu cukup membutuhkan guru lebih kurang 27 guru dengan tambahan tiga guru yang mendapat tambahan tugas sebagai wakil kepala sekolah dan seorang guru sebagai kepala sekolah?

Dari data itu juga, saya memiliki beberapa dugaan atas kenyataan nyata ini. Pertama adalah dugaan saya akan lemahnya cara berpikir para pemangku kebijakan penempatan guru yang ada.  Lemah pikir ini sebagaimana yang saya kemukakan pada alenia di atas. Dimana ada ketidak cermatan hitung secara murokab. Mulai dari tingkat kepala sekolah sebagai penanggungjawab di pelaksana hingga pejabat di atasnya. Mustahil bahwa data-data itu tidak menjadi bagian dari laporan bulanan yang sekolah kirim.

Kedua, bahwa selama ini tidak ada kontrol administrasi yang cermat terhadap sekolah-sekolah. Kontrol dalam arti bahwa semua data yang masuk hanya akan menjadi deretan angka yang tidak akan bermakna bagi pengambilan kebijakan berikutnya. Hal ini terjadi karena lemah dan tumpulnya  kemampuan analisa para petugas yang ada. Realitas ini memberikan pertanyaan baru buat saya bahwa para pemangku kebijakan tersebut apakah begitu masa bodohnya terhadap efisiensi bagi berjalannya negara ini? Sementara pada bagian lain, kita masih membaca di koran tentang berita ketiadaan guru di sebuah sekolah. Apakah ini tidak semakin menambah ironi tersebut?

***
Kembali kepada cerita mutasi guru tersebut, saya justru bertanya-tanya, apakah begitu sulitnya sebuah keputusan mutasi itu dijatuhkan atau begitu bodohnya makhluk yang bernama birokrasi itu? 

Ini patut saya sampaikan karena kelebihan 10 guru dalam satu lembaga pendidikan adalah bentuk praktek inefisiensi yang luar biasa. Apakah dengan kelebihan guru yang ada di lembaga tersebut akan memberi dampak kepada efektifitas kerja? Saya sepenuhnya tidak yakin. Bentuk inefisiensi itu hanya lahir karena sesungguhnya ada atau tidaknya pemangku jabatan di wilayah tersebut sama dengan ketiadaannya. 

Dari kaca mata inilah saya belajar  tentang bagaimana mempraktekkan bagaimana kemampuan analitis itu sebagai pangkal dari menuju hidup hemat.

Jakarta, 06 Mei 2012.

UN SD 2012 #1)

Esok, Senin tanggal 07 Mei 2012, adalah hari pertama pelaksanaan ujian nasional atau UN SD untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Semua keluarga yang putra-putrinya menjadi peserta ujian tahun ini, terutama yang tinggal di kota-kota, tentu akan mengisi hari ini dengan tetap tinggal di rumah demi persiapan esok hari. Hari yang menjadi akhir dari seluruh rangkaian pendidikan di tingkat pendidikan sekolah dasar selama enam tahun. Dan saya bisa pastikan tidak saja keluarga yang mempersiapkan diri agar para buah hati mereka dapat melalui ujian dengan hasil yang maksimal, tetapi juga para pemangku amanah pendidikan di sekolah dasar. Baik yang ada di wilayah kebijakan ataupun mereka yang berada di pelaksanaan pendidikan persekolahan seperti saya dan teman-teman.

Meski usaha telah kami usahakan jauh hari sebelum hari H, namun kami terus berusaha agar semuanya dapat berjalan dengan lancar. Setidaknya agar anak-anak itu dapat melaksanakan tugasnya dalam menyelesaikan tugasnya dalam ujian nanti dengan tanpa menemui kesulitan. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa anak-anak itu kami siapkan tidak hanya selesai pada menguasai materi pelajaran yang akan diujikan sebagaimana yang telah digariskan dalam kisi-kisi, tetapi juga bagaimana menyelesaikan soal-soal yang ada dalam berbagai judul buku yang tersedia di toko buku.

Dan dalam kesiapan untuk kesiapan ujian nasional nanti, saya sendiri justru terpikir akan rutinitas proses belajar dan proses pendidikan yang saya dan teman-teman lakukan selama ini bila ujung dari semua proses perjalanan kami itu hanya diukur dengan tiga mata pelajaran ditingkat sekolah dasar, dan juga hanya ranah kognitif.

Kegelisahan saya yang pertama adalah, benarkah inilah esensi pendidikan yang berujung kepada manusia taqwa dan cerdas sebagaimana yang kita cita-citakan? Mengapa ini menjadi bahan kegelisahan saya sebagai guru? Karena dalam ranah kognitif yang diujikan  dalam bentuk soal ujian nasional itu kurang banyak memberikan peluang kepada anak didik untuk berpikir dalam aspek dan tataran analistik. Masih sebagian besar dari soal-soal tersebut yang hanya mengukut aspek kognitif tingkat rendah. Dan dengan kenyataan ini maka sesunguhnya kita belum membentuk anak yang mampu berpikir analistis. Oleh karenanya maka tingkat cerdas yang akan dimunculkan masih cerdas mengingat, cerdas memahami, dan cerdas mengaplikasi.

Yang kedua adalah, bahwa dalam bentuk evaluasi kognitif sebagaimana yang terjadi dalam ujian nasional tersebut, maka ranah lain yang  menjadi kekuatan anak didik tidak menjadi bagian dalam hasil pendidikan,seperti afektif dan psikomotorik juga  tidak menjadi bagian dalam hasil pendidikan. Kejujuran, sopan santun, disiplin, dan sikap positif lainnya, memang menjadi tujuan pendidikan kita tetapi hal-hal itu tidak akan pernah menjadi bagian dalam hasil pendidikan dari ketiga mata pelajaran yang diuji nasionalkan di tingkat sekolah dasar.

Itulah dua hal yang paling krusial yang terus menerus menggelayuti pikiran saya ketika hingga sekarang ini saya berdiri pada profesi sebagai guru di pendidikan formal. Bagaimana dengan Anda?

Dan terlepas dari hal yang mengganggu pikiran saya tersebut,  harapan yang paling ingin terwujud terhadap pelaksanaan ujian kali ini adalah semoga anak-anak didik kami di sekolah tetap dapat melaksanakan dengan baik ujian akhirnya itu. Tentu dengan hasil yang optimal. Semoga. Amin.

Jakarta, 06 Mei 2012.

UN SMP 2012 #4

Ada satu hal lagi yang akan saya sampaikan berkenaan dengan berakhirnya UN SMP 2012 lalu. Yang menurut saya tetap penting dan selalu hangat untuk saya tulis dalam lembar catatan saya ini. Hal itu tidak  berkait langsung dengan saya dan anak-anak didik di sekolah, namun yang berkait dengan esensi hasil belajar anak didik. 

Juga tentu bukan yang berkait dengan urgenitas UN, yang selalu penting untuk tetap dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan. Atau tentang bagaimana anak-anak didik kami itu berusaha dalam memenuhi tuntutan dari hasil UN itu dalam bentuk untuk sekedar lulus saja, karena mungkin ada diantara anak didik kami yang telah mendapatkan sekolah di tingkat pendidikan lebih lanjut, atau pastinya juga untuk memperoleh hasil yang optimal dan semaksimal mungkin karena dengan hasil yang baik tersebut nantinya akan dapat mengantarkannya untuk masuk di sekolah negeri yang memiliki reputasi atau passing grade yang bagus, atau memang ada diantara anak-anak kami itu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.

Apa yang akan saya sampaikan di sini ukan tentang kebijakan pemerintah kita terhadap UNnya itu sendiri, tetapi justru terhadap pola dan cara pandang kita semua terhadap UN. Cara pandang yang dalam tahapan tertentu itu menjadi semacan takaran tentang bobot UN. Sebuah takaran yang saya merasakan sangat tidak adil dan tidak pada esensinya. Justru dengan pandangan sebagaimana yang tumbuh di masyarakat seperti sekarang ini saya berpikir bahwa tugas kami sebagai guru akan tetap dan terus sulit, terutama dalam menumbuhkan dan meyakinkan bahwa hasil belajar anak didik tidak hanya apa yang didapat dalam Ujian Nasional itu saja.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa hasil UN ini selain sebagai bagian dari pengambilan keputusan sekolah untuk kelulusan, juga adalah sebagai kunci bagi anak didik unuk dapat memasuki bangku pendidikan di SMP dan di tingkat SMA. Selain itu, pemerintah juga berkepentikan dengan hasil UN ini sebagai alat kontrol terhadap kualitas sekolah. Dan karena begitu pentingnya hasil UN tersebut, maka tidak dapat dipungkiri jika hingga kepala daerah juga memberikan target kepada Dinas Pendidikan dan Kebuyaan di wilayahnya masing-masing, setidaknya untuk terus ada peningkatan dari apa yang dicapai di tahun sebelumnya, dan selebihnya agar hasil yang bagus tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap martabat wilayah yang dipimpinnya. Hanya memang patut disayangkan bahwa beberapa wilayah tersebut hanya memancang target bahkan diantaranya dengan ancaman, tanpa memberikan supporting kepada proses pencapaiannya.

Sedang di mata masyarakat, karena hasil UN adalah satu-satunya alat untuk dapat memasuki bangku pendidikan menengah pertama dan atas serta sederajat, maka UN praktis menjadi target nyata yang harus direbut. Dan dalam pandangan saya, maka konsepsi ini akan melahirkan sebuah keyakinan bahwa hasio belajar adalah hasil UN tersebut. Dan konsepsi ini akan menarik seluruh syaraf kita untuk meyakini bahwa hasil UN itulah standar kepintaran anak.

Dengan melihat uraian itu, maka sekali lagi saya berteriak kepada semua teman yang berkutat dalam dunia pendidikan untuk tetap berkomitmen mengembangkan anak didik tidak hanya dalam tiga mata pelajaran di tingkat sekolah dasar, atau empat mata pelajaran di tingkat sekolah menengah pertama,  atau enam mata pelajaran di tingkat sekolah menengah atas, sebagai hasil belajar dan tolok ukur kepintaran anak didik. Karena anak didik memiliki beragam potensi dan beragam kecenderungan.Anak didik juga memiliki beragam domain atau ranah dalam potensi.

Dan dengan keyakinan seperti itulah saya mengajak untuk bertekad bahwa hasil Ujian Nasional, dimanapun tingkatnya, bukan satu-satunya hasil belajar. Tetapi sebagai salah satu hasil belajar!

Jakarta, 06 Mei 2012.

04 May 2012

UN SMP 2012 #3

Ada yang tertinggal denga telah berakhirnya Ujian Nasional yang dilaksanakan oleh SMP dua pekan lalu yang belum juga saya sampaikan dicatatan saya ini. Yaitu tentang bagaimana kami, para guru membangun rasa percaya diri siswa dengan kalimat afirmasi. Usaha ini tidak saja kami  lakukan pada saat mereka benar-benar diujung akan pelaksanaan ujian saja, tetapi sudah jauh hari sebelum pelaksanaan ujian itu berlangsung. Namun dalam pelaksanaan yang kami lakukan pada saat bersama siswa sebelum beberapa menit ujian mereka kerjakan, itu jauh lebih kami rasakan sebagai keberhasilan. Ini karena situasi yang begitu mendukung serta kondusif. 

 Sebagaimana yang telah saya tuliskan dalam artikel sebelumnya, dimana para peserta didik kami yang menjadi pesrta ujian pada tahun ini, sepertinya juga pada tahun-tahun sebelumnya, adalah mereka yang sebagiannya para panikmat waktu. Artinya, mereka seperti remaja yang benar-benar tidak memiliki beban yang harus dikerjakan atau tantangan yang mesti mereka taklukkan. Karenanya, maka hingga nyaris hari H pelaksanaan ujian, kami para gurunya di sekolah dibuatnya deg-degan. Karena kami sangat khawatir akan hasil yang akan mereka peroleh ketika pengumuman kelulusan nanti. Kami terus terang sport jantung ketika harus mempersiapkan mereka untuk benar-benar siap UN. Namun ketika melihat bagaimana mereka sebelum UN berlangsung itu, kami merasakan bagaimana bertambahnya denyut jantung kami yang berlipat-lipat.

Untuk itulah  maka kami patut bersyukur manakala pada pagi hari sebelum hari pertama UN berlangsung saat itu, melihat bagaimana anak-anak itu telah bersiap sedia dengan raut muka dan perilaku yang santun. Bahagia sekali. Maka sebelum waktu menunujukkan pukul tujuh pagi hari, kami telah bersiap untuk menggelar tikar di ruang serba guna yang ada di sekolah kami. Kami persialahkan mereka untuk bertefekur dan memohon doa sekusyuk mungkin dengan dituntun oleh guru agama kami. Kami mengajarkan kepada mereka bagaimana membangun mimpi dengan afirmasi keberhasilan.

Dan kondusif sebagaimana yang saya kemukakan di atas maksudnya adalah, bahwa semua peserta begitu menikmati serangkaian prosesi di atas tikar tersebut sebelum mereka semua masuk ke dalam ruang ujian sesuai dengan nomornya masing-masing.

Karena kami menyadari sekali bahwa tim sukses Ujian Nasional yang kami bentuk dan mulai bekerja dengan keras dan cerdas di sekolah sejak usai Idul Fitri lalu itu, tugasnya telah kami anggap berakhir begitu anak-anak kami itu masuk ke ruang ujian untuk melaksanakan UN yang telah dijadwalkan. 

Dan sesuai dengan afirmasi kami, kami selalu meyakini bahwa anak-anak didik kami akan memperoleh suksesnya dengan jalannya masing-masing. Tidak ada satu pun dari mereka itu yang tidak menemukan keberhasilan. Amin.

Jakarta, 04 Mei 2012.